Ada undangan masuk melalui WA, yang meminta saya untuk ikut “nongkrong” di Tongkrongan Dakwah, di Jl. Amal No. 63 Kota Medan. Saya jawab, “Insya Alah saya bisa". Kami pun sepakat untuk nongkrong pada Kamis, 22 Agustus 2024 (malam Jumat), selepas salat Isya.
Biasanya, kalau ada yang ajak nongkrong, seringkali
saya menyampaikan permohonan maaf. Sebab, berdasarkan pengalaman saya ketika
ikut nongkrong, selalu saja saya tidak mengerti apa manfaat yang didapatkan dari
tongkrongan tersebut. Bukan berarti saya tidak suka nongkrong; saya selalu menimbang
terkait “apa yang dibahas” di tongkrongan, barulah saya mau ikut gabung.
Mengapa ajakan Tongkrongan Dakwah langsung saya terima?
Setelah saya membaca undangan tersebut, saya langsung mencari tahu, sebenarnya apa saja yang diaktivitaskan
di Tongkrongan Dakwah ini. Di bio Wa “Tongkrongan Dakwah” tertulis jelas dan sederhana, “Bersama Menggapai Izzah”. Menarik
bukan? Lantas, apa alasan saya menolak?
Konon lagi, setelah saya cari tahu lebih
lanjut, di akun Instragram @tongkrongandakwah.id. (yang pengikutnya hampir 11
ribu), Tongkrongan Dakwah ini “diasuh” oleh Ustadz Muhammad Alif Khalifah
(Ustadz Alif Aslan), seorang tokoh muslim yang telah mendidikasikan hidupnya
untuk al-Quran dan Kemanusian. Ustadz Alif Aslan juga merupakan Founder YayasanAl-Majdi Indonesia, salah satu yayasan yang memperjuangkan hak-hak masyarakat
dan Negeri Palestina secara konkrit.
Tentu saja, insya Allah, nongkrong malam
nanti menjadi tongkrongan yang produktif dan progresif. Yang terpenting, bisa
menjadi catatan kebaikan di sisi Allah Swt.
Memilih Bahan Diskusi di Tongkrongan
Penyelenggara Tongkrongan Dakwah meminta saya untuk
mempersiapkan bahan diskusi seputar “Hijab dan Kehidupan”, yang akan
dibincangkan. Secara spontan saya menyimpulkan, agaknya
ini berkaitan dengan kontroversi di balik Keputusan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
(BPIP) Nomor 35 Tahun 2024 tentang Standar Pakaian, Atribut, dan Sikap Tampang
Pasukan Pengibar Bendera Pusaka. Aturan ini disebut-sebut
sebagai sumber terjadinya kekisruhan.
Apakah bahan yang saya harus persiapkan
berkaitan dengan paskibraka yang lepas jilbab saat pengukuhan di IKN? Saya
belum mengonfirmasi ke pihak Tongkrongan Dakwah. Kalau memang ini permasalahannya,
saya hanya bisa menjawab singkat: ajak saja pengurus BPIP nongkrong di
Tongkrongan Dakwah untuk kita berikan wawasan Pancasila secara utuh. Itu saja.
Menanggapi masukan penyelanggara Tongkrongan Dakwah, saya
berharap agar diskusi kami beralih menjadi “Hijab dan Ketaatan: Antara Trend
dan Tuntunan Agama”. Alhamdulillah, usulan saya disetujui.
Untuk selanjutnya, saya akan menuliskan
secara khusus terkait “Hijab dan Ketaatan: Antara Trend dan Tuntunan Agama”.
Insya Allah, tulisan ini akan dijadikan bahan diskusi bersama teman-teman
Tongkrongan Dakwah nanti.
Apa Itu Hijab?
Ketika mendiskusikan perihal hijab, ada
beberapa istilah lain yang sering disebutkan, seperti kerudung, cadar, dan
jilbab. Pertanyaannya, apakah istilah-istilah tersebut memiliki makna yang sama
atau berbeda?
Pertama, kerudung. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kerudung
diartikan sebagai ‘penutup kepala perempuan’. Menurut KBBI, kerudung juga
disamakan dengan ‘cadar’.
Kedua, cadar. Arti cadar dalam KBBI adalah ‘kain yang menutupi seluruh
tubuh termasuk kepala dan wajah, kecuali mata, biasa dikenakan oleh wanita
Muslim’. Tentu pengertian cadar ini tidak sekadar penutup kepala saja,
sebagaimana disamakan oleh KBBI dengan kerudung.
Ketiga, jilbab. Masih menurut KBBI, jilbab diartikan dengan tiga
pengertian. Jilbab bisa diartikan sebagai ‘kain lebar yang dipakai wanita
Muslim untuk menutupi kepala dan rambut, termasuk telinga, hingga leher dan
dada’. Jilbab juga diartikan sebagai ‘baju lebar yang digunakan untuk menutup
kepala hingga dada wanita’. Termasuk arti jilbab di sini adalah sebagai ‘kain
longgar yang menutupi seluruh tubuh, termasuk kepala, rambut, dan telinga,
kecuali tangan, kaki, dan wajah’.
Keempat, hijab. KBBI mengartikan hijab sebagai ‘dinding yang membatasi
sesuatu dengan yang lain’. Menariknya, KBBI juga mengartikan hijab sebagai
‘dinding yang membatasi hati manusia dan Allah SWT’. Tidak hanya itu, KBBI juga
mengartikan hijab sebagai ‘dinding yang menghalangi seseorang dari mendapat harta
waris’. Termasuk arti hijab menurut KBBI adalah ‘kain yang digunakan untuk
menutupi muka dan tubuh wanita Muslim sehingga bagian tubuhnya tidak terlihat’.
KBBI juga menyamakan arti hijab dengan jilbab.
Lantas, apakah penjelasan KBBI ini sesuai
dengan term-term keislaman?
Dalam kajian fikih yang berkaitan dengan
menjaga aurat, kita disuguhkan beberapa istilah, di antaranya khimar, niqab, termasuk jilbab dan hijab, sebagaimana dijelaskan oleh
Mahdum Kholid Al Asror.
Pertama, khimar. Secara bahasa, khimar
berasal dari kata khamr yang makna
dasarnya adalah menutup, sehingga segala sesuatu yang tertutup disebut mukhammar. Jadi secara bahasa, segala
sesuatu yang menutupi disebut khimar.
Secara istilah, kata khimar lebih
banyak dipakai untuk sesuatu yang berfungsi menutup kepala perempuan. Ayat yang
berbicara tentang khimar adalah Q.S. An-Nur ayat 31:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung
ke dadanya.”
Kedua, niqab. An-niqab secara bahasa
adalah qina’ yang dipakai perempuan
pada bagian pucuk hidung untuk menutup wajah. Bentuk jamaknya adalah nuqab. Ada tiga istilah yang berkaitan
dengan niqab. Jika dipakai dengan
rapat sampai ke arah mata dinamakan washwashah;
yang direnggangkan sampai ke rongga mata disebut niqab; dan yang diturunkan sampai batas mulut disebut lifaam.
Ketiga, jilbab. Jilbab berasal dari bahasa
Arab. Bahkan al-Qur'an menyebut kata tersebut dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 59,
يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ
وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ
“Hai Nabi,
katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri
orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’…
Kata “jalaabiib”
adalah bentuk jamak dari “jilbaab” yang memiliki banyak pengertian sebagaimana
disampaikan Ibnu Mandzur dalam Lisan al-Arab. Ada yang
mendefinisikan jilbab dengan sejenis pakaian yang lebih lebar dari pada khimaar (kerudung),
dan tidak lebih lebar dari pada ridaa’ (jubah) yang dipakai
menutup kepala dan dada perempuan.
Pendapat lain
mengatakan, jilbab adalah pakaian yang lebar tapi tidak selebar milhafah (selimut)
yang dipakai wanita. Ada juga yang mengatkan jilbab adalah milhafah (selimut)
itu sendiri. Dan ada yang mengatakan jilbab adalah khimaar (kerudung).
Al-Qurthubi
dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an juga menyampaikan beberapa pendapat ulama tentang pengertian jilbab;
ada yang mengartikan pakaian yang lebih lebar dari pada khimaar; ada
yang menyamakan dengan ridaa’ (jubah), dan ada yang menyamakan
dengan qinaa. Adapun pengertian yang sahih menurut al-Qurthubi
adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh.
Keempat, hijab secara bahasa
berarti as-satru menutupi, kemudian segala sesuatu yang
digunakan untuk menutupi dan segala sesuatu yang menghalangi antara dua perkara
disebut jengan hijab. Kata hijab disebutkan dalam al-Quran, sebagaimana
Q.S. Al-Ahzab ayat 53,
ۗ وَاِذَا سَاَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَسْـَٔلُوْهُنَّ مِنْ وَّرَاۤءِ
حِجَابٍۗ
“…apabila kamu
meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah
dari belakang tabir…”
Hijab dalam
pengertian syarak adalah setiap yang mencegah terjadinya fitnah antara dua
jenis, realisasinya bisa jadi dengan menutup aurat, memejamkan mata,
tidak khalwat (berduaan), tidak berbicara yang mengakibatkan
lawan jenis tertarik, dan tidak menyentuh wanita yang bukan mahram.
Dari penjelasan di
atas dapat disimpulkan, kata hijab memiliki makna lebih umum dari pada khimaar, niqaab dan jilbab.
Dengan kata lain, ketiganya merupakan bagian dari sekian banyak model hijab
yang dipakai untuk mencegah terjadinya fitnah antara laki-laki dan perempuan.
Akan tetapi, perlu
dijelaskan bahwa, mengutip Ahmad Sarwat, apapun model pakaiannya, apakah
jilbab, hijab, khimar, kerudung, dan lainnya, yang menjadi kesepakatan
seluruh ulama adalah kewajiban menutup aurat bagi wanita—tentu saja bagi
laki-laki. Dan yang nyaris sudah jadi kesepakatan juga bahwa batasan aurat
wanita itu seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan. Pengecualiannya
ada dalam mazhab Al-Hanafiyah, bahwa yang termasuk bukan aurat wanita ditambah
lagi yaitu kedua kaki hingga batas mata kaki.
Berhijab sebagai Bentuk Ketaatan kepada Allah Swt.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa
dekade terakhir, hijab telah menjadi bagian dari dunia mode. Banyak desainer
ternama yang mengintegrasikan hijab ke dalam koleksi mereka, menjadikannya
bagian dari tren global. Media sosial turut berperan besar dalam menguatkan
tren hijab sebagai "fashion statement", dengan banyaknya influencer dan selebritas
yang mempopulerkan gaya hijab yang modis dan trendi.
Munculnya hijab sebagai tren ini membawa dua
dampak berbeda. Di satu sisi, hal ini dapat dianggap positif karena membantu
normalisasi hijab dalam masyarakat luas, bahkan di negara-negara non-Muslim.
Hijab tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang asing atau eksklusif bagi
komunitas Muslim, melainkan sebagai bagian dari keragaman budaya global.
Namun, di sisi lain, terdapat risiko bahwa
hijab kehilangan esensi spiritualnya dan berubah menjadi sekadar aksesori mode.
Ketika hijab dijadikan sekadar tren, nilai ketaatan yang seharusnya melekat di
dalamnya bisa tergerus. Hijab bukan lagi simbol ketaatan, melainkan bagian dari
gaya hidup yang mungkin tidak dilandasi oleh pemahaman agama yang mendalam.
Di tengah maraknya tren hijab, setiap
Muslimah dihadapkan pada tantangan untuk merenungkan niat mereka dalam
berhijab. Apakah hijab yang dikenakan didasari oleh kesadaran akan perintah
Allah, atau sekadar mengikuti arus tren? Memang, tidak ada yang salah dengan
memadukan hijab dengan mode asalkan tetap mempertahankan prinsip-prinsip
syar'i, seperti menutup aurat secara sempurna dan tidak berhias secara
berlebihan.
Namun, penting untuk diingat bahwa hijab pada
dasarnya adalah manifestasi ketaatan kepada Allah, bukan sekadar gaya atau
tren. Ketaatan ini tidak boleh tereduksi menjadi hanya sebuah tren yang bisa
berganti seiring waktu. Muslimah yang berhijab hendaknya selalu menjaga niat
mereka agar hijab yang dikenakan tetap menjadi cerminan dari iman dan ketaatan
kepada Allah, bukan sekadar simbol mode.
Intinya, berhijab
itu adalah bagian ketaatan kita terhadap Allah Swt. Soal bagaimana kita
berhijab, boleh saja memilih fashion tertentu, asal tidak bertentangan dengan
ketentuan agama. Apakah ada orang yang berniat menghijab aurat, tapi malah
terjebak dalam perbuatan yang haram? Jawabannya ada.
Aturan Berhijab dalam Islam
Dalam Islam, hijab bukan sekadar pakaian
fisik, melainkan juga simbol dari ketaatan dan kehormatan seorang wanita
Muslim. Al-Qur’an dengan jelas menyebutkan perintah untuk berhijab dalam
beberapa ayat, salah satunya dalam Surah An-Nur ayat 31 yang berbunyi:
Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman agar mereka menahan pandangan mereka, memelihara kemaluan mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain ke dada mereka
Ayat ini menegaskan bahwa hijab merupakan
perintah agama yang harus ditaati oleh setiap Muslimah. Hijab bukan sekadar
pakaian, melainkan bentuk nyata dari ibadah yang menunjukkan ketaatan seorang
Muslimah kepada Allah. Memakai hijab dengan kesadaran penuh akan maknanya
adalah cerminan dari iman yang mendalam dan komitmen terhadap ajaran agama.
Seiring dengan berjalannya waktu,
hijab menjadi fashion tersendiri bagi masyarakat. Tak hanya beragam
bentuk, namun kini model berhijab pun banyak ragamnya. Salah satu jenis hijab
yang memiliki banyak model adalah jilbab.
Kita
sudah menjelaskan bahwa jilbab merupakan
salah satu bentuk pakaian yang digunakan oleh wanita untuk menutupi aurat.
Namun, ada beberapa bentuk jilbab yang dilarang atau dianggap tidak sesuai
dengan tuntunan agama. Berikut adalah penjelasan mengenai jilbab yang tidak
diperbolehkan:
Pertama,
jilbab yang ketat. Jilbab yang ketat, meskipun menutupi
tubuh, tidak memenuhi syarat kesopanan dalam Islam. Pakaian yang ketat menempel
pada tubuh dan menunjukkan lekuk tubuh dianggap melanggar prinsip sitr
(penutupan) dan hijab. Menurut ajaran Islam, jilbab harus longgar dan
tidak memperlihatkan bentuk tubuh.
Kedua,
jilbab yang transparan. Jilbab
yang terbuat dari bahan transparan juga tidak diperbolehkan. Pakaian yang
tembus pandang membuat aurat tetap terlihat, yang bertentangan dengan prinsip
menutup aurat secara sempurna. Hijab harus terbuat dari bahan yang tidak
memperlihatkan warna atau bentuk kulit di bawahnya.
Ketiga, jilbab yang mengikuti mode berlebihan. Jilbab yang dirancang mengikuti mode atau tren yang berlebihan, terutama yang tidak sesuai dengan kesederhanaan yang diajarkan Islam, juga dilarang. Pakaian yang terlalu mencolok atau glamor tidak sejalan dengan prinsip kesederhanaan dalam berpakaian. Islam menganjurkan pakaian yang sederhana dan tidak menarik perhatian secara berlebihan.
Keempat, jilbab yang terlalu pendek. Jilbab yang hanya menutupi kepala dan lengan tanpa menutup dada, karena dililitkan ke leher, sangat dilarang. Jilbab harus menutupi kepala hingga kaki, kecuali wajah dan telapak tangan.
Kelima, jilbab yang dipakai dengan aksesori berlebihan. Menambahkan aksesori berlebihan pada jilbab, seperti perhiasan atau hiasan yang mencolok, juga tidak diperbolehkan. Hal ini dapat menarik perhatian dan mengurangi kesederhanaan serta tujuan jilbab sebagai penutup aurat.
Hijab tidak hanya Sekedar Cara Berpakaian
Dalam Islam, hijab memiliki makna yang lebih
mendalam daripada sekadar penutup fisik yang dikenakan oleh wanita Muslim. Selain
cara berpakaian hijab juga sering digunakan untuk menggambarkan penghalang atau
tabir yang memisahkan seseorang dari pemahaman atau pengalaman spiritual yang
lebih tinggi dan kedekatan dengan Allah Swt.
Hijab juga bisa diartikan adanya penghalang
yang mencegah seseorang dari mencapai maqam spiritual tertentu atau dari
mendapatkan pengenalan yang lebih mendalam tentang Allah. Penghalang ini bisa
berupa hasrat duniawi, kesombongan, ketidakikhlasan, dan hal-hal lain yang
menjauhkan hati seseorang dari Allah.
Hijab-hijab ini harus diangkat atau
dihilangkan melalui proses tazkiyah
an-nafs (pensucian jiwa) dan mujahadah
(perjuangan spiritual). Dengan melakukan ini, seorang muslim atau muslimah dapat
mendekati maqam spiritual yang lebih tinggi dan mendekatkan diri kepada Allah.
Ada beberapa penjelasan hijab dalam kajian
Islam.
Pertama, hijab
ananiyah
(egoisme). Ego dan keakuan yang berlebihan dianggap sebagai penghalang utama
dalam mencapai kedekatan dengan Allah. Ego yang menguasai diri menyebabkan
seseorang terjebak dalam keinginan duniawi dan menjauhkan diri dari realitas
ilahi.
Kedua, hijab
al-hawas
(panca indra). Ketergantungan pada indra fisik sebagai sumber pengetahuan juga
dianggap sebagai hijab. Kita harus melampaui pengetahuan indrawi dan mencari
pengetahuan batin yang lebih mendalam.
Ketiga, hijab
al-afkar
(pikiran). Pikiran yang dipenuhi dengan keraguan, spekulasi, atau pemikiran
yang tidak sesuai dengan kebenaran ilahi juga dianggap sebagai penghalang.
Pikiran semacam ini dapat mengaburkan visi spiritual dan menghalangi seseorang
dari kebenaran sejati.
Keempat, hijab
al-shahawat (keinginan duniawi). Keinginan yang berlebihan terhadap hal-hal
duniawi, seperti harta, kekuasaan, atau kedudukan, dapat menjadi hijab yang
kuat dalam perjalanan spiritual. Kita harus berusaha untuk mengendalikan dan
menundukkan keinginan ini untuk mencapai kebebasan spiritual.
Sampai di sini, dapat kita pahami bahwa hijab
memiliki makna yang mendalam sebagai simbol penghalang spiritual yang harus
diatasi untuk mencapai kedekatan dengan Allah. Pengangkatan hijab-hijab ini
melalui pensucian jiwa dan disiplin spiritual adalah bagian penting dari
perjalanan seorang muslim atau muslimah menuju Tuhan. Hijab, dalam pengertian
ini, melampaui sekadar pakaian fisik dan menjadi representasi dari upaya untuk
menghilangkan segala sesuatu yang menghalangi hubungan yang murni dan mendalam
dengan Allah Swt.
Akhirnya, dapat kita pahami bahwa ada hijab yang harus kita pertahankan, yaitu cara berpakaian yang diperintahkan agama untuk menutup aurat. Namun ada pula hijab yang harus kita hilangkan, yaitu hijab untuk terhubung kepada Allah Swt. Keduanya adalah bentuk ketaatan kita kepada Allah Swt.
Baca Juga: Bagaimana Cara Menghilangkan Kecanduan Judi Online