Terjemahan: Dia (Allah) menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Siapa yang dianugerahi hikmah, sungguh dia telah dianugerahi kebaikan yang banyak. Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran (darinya), kecuali ululalbab.
Artikel
ini hanya catatan dari salah satu ceramah/kajian Prof. Dr. Muhammad Syukri
Abani Nasution, M.A. di Masjid Al Muhajirin Bumi Asri
Seringkali kita mendengar orang-orang
mengatakan, “ambil saja hikmahnya!”. Mungkin, kita juga pernah mengucapkan
demikian. Namun, apa sebenarnya makna hikmah tersebut? Sebelum kita menjelaskan
apa itu hikmah, mungkin lebih baik kita ajukan pertanyaan lain terlebih dahulu,
yaitu, mengapa orang-orang atau kita sendiri mengatakan, “ambil saja
hikmahnya?”
Secara umum, perkataan “ambil saja
hikmahnya!” disebabkan oleh situasi yang mewajarkan kesabaran. Ketika mengalami musibah, orang-orang
berharap bisa memahami hikmah; pada saat hasil kerja tidak sesuai rencana,
orang-orang juga mengharapkan bisa memahami hikmah. Di sini, hikmah dipahami
sebagai suatu kebaikan di balik sesuatu yang tampaknya tidak baik. Namun,
apakah makna hikmah memang sesederhana itu? Boleh saja dipahami demikian,
tetapi makna hikmah tidak sesederhana itu.
Secara lebih luas, hikmah bisa kita
pahami dengan dua konsep utama. Pertama,
hikmah sebagai filsafat, dalam
arti kebijaksanaan teoritis yang dihasilkan dari pemahaman terhadap esensi
suatu objek, baik itu situasi maupun keadaan. Kedua, hikmah sebagai phronesis,
yaitu kebijaksanaan praktis. Ini berarti kemampuan seseorang untuk tetap
bertahan pada kebaikan; apapun yang terjadi atau apapun yang dialami oleh
seseorang tidak membuat dirinya menyerah untuk mempertahankan kebaikan.
Meskipun hikmah kita pahami dengan dua
konsep tersebut, yakni sebagai filsafat dan phronesis,
bukan berarti keduanya terpisah. Menurut Prof. Dr. Muhammad Syukri Albani
Nasution, M.A., “hikmah adalah satu nilai yang didapat oleh manusia dari ilmu
yang ia pelajari, dan nilai tersebut bisa bertumbuh menjadi sebuah manfaat dan
keteladanan”.
Agar lebih mudah memahami ihwal hikmah,
Prof Syukri memaknainya melalui kisah (rekaan) seorang chef terkenal di Jerman.
Konon, chef ini berasal dari Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera
Utara.
Syahdan, ada seorang chef yang sangat
terkenal, bahkan tingkatnya berskala internasional. Masakan chef ini diminati
oleh berbagai kalangan lintas negara. Tak heran, chef ini selalu dikelilingi
oleh wartawan yang ingin mengulik rahasia suksesnya.
“Chef, baru-baru
ini Anda dinobatkan sebagai salah satu chef terbaik sepanjang sejarah. Kami pun
berterima kasih karena telah diizinkan bertemu dengan Anda secara pribadi. Ini
kesempatan yang langka, karena kami mengetahui Anda tak memiliki banyak waktu,
bahkan beberapa presiden pun harus menunggu Anda meluangkan waktu untuk
bertemu,” ujar seorang wartawan.
“Bisa kita mulai
wawancaranya? Saya hanya punya waktu 5 menit sebelum menuju bandara,” sahut
chef tersebut.
“Baik, Chef.
Izinkan kami mengetahui apa rahasia sukses Anda dalam memasak hingga Anda bisa
mencapai posisi seperti saat ini?” tanya wartawan.
“Kalau
pertanyaan itu, tentu bukan rahasia lagi. Saya belajar masak dari inang (ibu:
bahasa Mandailing) saya. Cukup ya, silakan tanya langsung ke beliau,” tutup
chef sembari meninggalkan lokasi wawancara.
Setelah proses wawancara selesai, para
wartawan pun bergegas mencari tahu lokasi kediaman ibunda chef tersebut. Betapa
tidak, setiap laman berita yang memuat cerita tentang chef selalu laris di
pasaran; para pembaca selalu menanti kabar terbaru tentang chef. Tentu,
perusahaan-perusahaan media bersedia menyediakan modal besar agar berita
tentang chef bisa menjadi tajuk utama di laman berita yang mereka publikasikan.
Usut punya usut, ternyata ibunda chef
berada di Kabupaten Mandailing Natal. Dengan menempuh perjalanan panjang dari
Jerman ke Mandailing Natal, akhirnya para wartawan berhasil menjumpai ibunda si
chef, yang pada saat itu sedang mencuci pakaian di Sungai Muara Batang Gadis.
“Bu Nasution,
apakah ibu benar-benar ibunda dari seorang chef di Jerman?” tanya wartawan
terburu-buru.
“Aha dei, Chef Koum? Get mangua hamu tu son?
(Apa itu chef? Dan, apa tujuan kalian menemui saya?)” ujar Bu Nasution.
Setelah para wartawan saling pandang,
mereka menjelaskan maksud kedatangan mereka untuk menemui Bu Nasution yang
masih merasa keheranan.
Bu Nasution pun
menjawab wartawan dengan ringkas, “Gak ada anakku tukang masak, cuma satu
anakku, si Kocu.”
Salah seorang wartawan berinisiatif
menunjukkan foto si chef kepada Bu Nasution. “On mada si Kocu, dongan ia do hamu? Pasuruh jolo ia mulak, nga unjung
mulak bayoi (Ya, inilah anakku, si Kocu. Kalau kalian teman-temannya, suruh
dia segera pulang! Sudah lama dia gak pulang ke rumah),” jelas Bu Nasution.
Para wartawan pun saling pandang untuk
ketiga kalinya. Seolah-olah tak mau waktu terbuang, salah seorang wartawan
langsung menjelaskan perihal Kocu yang saat ini sudah menjadi salah satu chef
terkenal di dunia. Para wartawan pun menjelaskan hasil wawancara mereka bersama
Kocu, yang mengatakan bahwa rahasia suksesnya menjadi chef adalah ibunya.
Setelah tertawa beberapa saat, Bu
Nasution lalu menjelaskan kepada para wartawan, “Igabusi ia do amui Koum, nga malo au mamasak dabo; i bagas pe sering do
hami manabusi di lopo nasi padang; madung mada, bahat dope karejoku”
(Agaknya kalian sudah dibohongi. Saya sama sekali tidak pandai memasak. Mana
mungkin seseorang belajar memasak dari saya sampai menjadi chef terkenal;
bahkan untuk makan di rumah saja kami sering membeli nasi Padang. Sudah ya,
wawancara kita selesaikan saja, masih ada beberapa pekerjaan yang segera saya
tuntaskan).
Di tengah kebingungan, para wartawan
pun terpaksa harus kembali ke Jerman, padahal belum mendapatkan rahasia Kocu
hingga menjadi chef yang terkenal.
Kali ini, para wartawan itu beruntung.
Seolah-olah tahu hasil jawaban yang diberikan Bu Nasution kepada wartawan, si
Kocu pun secara pribadi mengundang wartawan untuk kembali menemuinya. Pertemuan
lanjutan pun diadakan.
Tanpa basa-basi, Kocu, si chef terkenal,
lalu menjelaskan kepada wartawan:
“Kalian tahu apa
kehebatan ibu saya? Begini, sewaktu saya kecil, ibu saya memang hanya pandai
memasak nasi goreng, ikan goreng, dan rebusan sayur. Tapi, siapapun yang
memakan makanan ibu, saya jamin tidak hanya kenyang secara fisik, lebih dari
itu kita juga akan nyaman secara batin.”
Di tengah kesibukan wartawan merekam
dan mencatat apa yang disampaikan si Kocu, lalu chef hebat itu pun melanjutkan:
“Saya tahu, ibu
saya tak paham soal racikan bumbu dan sebagainya untuk menyedapkan rasa
makanan. Tapi, ibu saya selalu memasak dengan penuh cinta dan selalu menjaga
apa yang kami makan senantiasa bersumber dari yang halal.”
“Bisa jelaskan
lebih detail, Pak?” sela seorang wartawan.
“Seharusnya kita
sudah paham bahwa rahasia sukses saya dalam memasak bukan diajarkan resep-resep
ampuh oleh ibu saya. Tapi, ibu saya adalah inspirasi saya dalam memasak. Saya
tak perlu aneka jenis resep makanan, saya hanya selalu berusaha agar siapapun
yang memakan masakan saya bisa merasakan cinta kasih dari seorang chef
sebagaimana cinta kasih seorang ibu ketika memasak untuk anak-anaknya. Saya pun
tidak pernah memasak makanan yang nonhalal!” tutup Kocu, si chef terhebat.
Selesai sudah cerita si Kocu, chef
handal. Kita hanya perlu memahami bahwa si Kocu mampu menangkap makna di balik
apa yang dihidangkan ibunya, bukan hanya makanan tetapi juga cinta kasih.
Bahkan, sekalipun sudah di Eropa, si Kocu tetap berpegang teguh pada kehalalan
masakannya. Ini adalah hikmah bagi Kocu dan rahasia suksesnya: Filosofis dan Phronesis.
Sampai di sini, kita juga dapat
memahami bahwa hikmah itu bukan kausalitas. Seandainya hikmah diberlakukan
sebagai kausalitas, ketika diwawancarai, Bu Nasution seharusnya menjawab, “Ya,
saya banyak mengajarkan Kocu resep A, B, dan C, sampai Z”. Tentu, ini adalah
jawaban apabila hikmah itu kausalitas. Memang, Al-Quran sendiri pun mengatakan
bahwa “(Dia (Allah) menganugerahkan
hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki) (lihat ayat di atas)”. Kita juga dapat memahami bahwa hikmah
itu tidaklah didapati secara empiris, tetapi ia hadir bersama situasi yang
Allah pahamkan bagi kita.
Pertanyaan terakhir, bagaimana Allah
memahamkan hikmah kepada kita? Jawabannya tegas, “atas kehendak Allah”. Sebab,
hikmah adalah kehendak Allah, sekali lagi, tidak berlaku kausalitas dan tidak
bergantung pada kemampuan kita dalam mengobservasi secara empiris. Lantas, apa
yang bisa kita lakukan? Allah telah menakdirkan kita memiliki energi untuk
berdoa dan kekuatan untuk mempertahankan diri agar senantiasa berbaik sangka
kepada Allah. Mudah-mudahan, takdir yang kita miliki ini bisa menjadi langkah
kita untuk meniti jalan hikmah.
Sumber Gambar : https://pixabay.com/
Baca Juga: Hijab dan Ketaatan: Antara Trend dan Tuntunan Agama
[1] Sampai
saat ini, salah satu kebiasaan masyarakat Mandailing Natal adalah mencuci atau
dikenal dengan istilah membasuh di sungai secara bersama-sama. Ini ditradisikan
oleh masyarakat dengan tujuan untuk menjaga persahabatan dengan alam. Dengan
mencuci di sungai, berarti mereka bertanggung jawab atas kebersihan sungai
tersebut, sebab mereka butuh air bersih untuk menyucikan pakaian.