Waktu bergerak cepat. Setengah akhir tahun 2015, saya kembali berhadapan dengan Prof. Syukri—saat itu beliau masih bergelar magister dan menjabat sebagai sekretaris jurusan kami. Bukan di ruang diskusi aktivis, bukan pula dalam forum pertemuan kader, melainkan di ruang kuliah, sebagai dosen mata kuliah Filsafat Ilmu.
Kali ini, kami tidak sedang membahas tentang agenda-agenda kaderisasi. Kami duduk sebagai mahasiswa dan dosen, dengan buku catatan terbuka dan pena yang menari perlahan di atas kertas. Tapi jangan kira suasana kelas filsafat itu beku atau kaku. Justru sebaliknya, di sinilah saya menemukan kembali api pemikiran yang sebelumnya sempat padam karena kesibukan organisasi dan urusan kampus yang melelahkan.
Pada suatu pertemuan, Prof. Syukri melemparkan pertanyaan sederhana namun menggugah, “Apa jadinya jika para filsuf tidak pernah menulis?”
Sejenak, ruangan hening. Semua kepala menoleh, beberapa mencoba menebak arah jawaban, tapi tak satu pun benar-benar siap menjawab.
Kemudian, beliau melanjutkan dengan suaranya yang tenang, “Jelas sekali, jasad mereka telah terkubur, tapi jiwa mereka hidup bersama tulisan. Hari ini kita masih bisa membaca Socrates, Plato, Al-Farabi, hingga al-Ghazali bukan karena mereka hidup, tapi karena tulisan mereka hidup.”
Saya terdiam. Saya tahu kalimat itu bukan sekadar pengantar materi. Itu adalah peringatan halus bahwa berpikir saja tidak cukup. Bahwa pemikiran, betapapun dalam dan revolusioner, akan hilang tanpa jejak jika tidak dituangkan dalam tulisan. Dan itulah momen ketika saya benar-benar memahami makna dari legacy—warisan intelektual yang tak lekang oleh zaman.
Tak lama kemudian, beliau kembali melontarkan satu pernyataan yang sangat membekas dalam ingatan saya:
“Dengan menulis, cara berpikir kita menjadi lebih tertata.”
Kalimat itu sederhana, bahkan klise bagi sebagian orang. Tapi ketika keluar dari mulut Prof. Syukri, kalimat itu mengandung bobot pengalaman. Ia bukan sekadar ajakan akademik, tapi semacam ajaran hidup. Menulis bukan hanya perkara menyalin isi pikiran, tetapi juga melatih diri untuk berpikir sistematis, kritis, dan jernih. Ia adalah proses menyaring kegaduhan menjadi makna, mengurai intuisi menjadi logika.
Bagi Prof. Syukri, menulis bukan hanya keterampilan akademis. Ia adalah bentuk keberanian. Keberanian untuk menetapkan posisi dalam sejarah pemikiran. Keberanian untuk mencatatkan diri di ruang-ruang intelektual, bukan untuk dikenal, tetapi untuk terus hidup.
Namun, pernyataan paling mengguncang datang tak lama setelah itu. Saya masih ingat betul saat beliau berkata:
“Kalau kau bukan anak raja, jadilah penulis. Dengan demikian, kau akan sejajar dengan sejarahnya para raja. Bahkan kau yang membentuk sejarah kerajaan dirimu.”
Saya terdiam. Kawan di sebelah saya juga terdiam. Ada keheningan yang berbeda dari biasanya. Kalimat itu menghantam kami seperti petir yang menyambar dalam benak, tapi juga seperti cahaya yang membuka jendela baru dalam diri kami. Betapa kuatnya makna kalimat itu.
Kalau kau bukan anak raja—maka jangan putus asa. Sejarah bukan hanya milik mereka yang mewarisi mahkota. Sejarah juga milik mereka yang menciptakan maknanya sendiri lewat tulisan, lewat pemikiran yang dibagikan, lewat keberanian untuk menarasikan hidup dan menafsirkan zaman.
Di sanalah saya merasa, bahwa filsafat yang diajarkan Prof. Syukri bukan sekadar mata kuliah. Ia adalah napas. Ia adalah cara memandang hidup dengan penuh kesadaran. Ia adalah ajakan untuk menjadi bagian dari sejarah, bukan sekadar angka dalam daftar hadir dunia.
Sejak saat itu, saya mulai menulis. Tidak banyak. Tidak juga selalu selesai. Tapi saya mencoba. Saya menulis catatan kecil setelah kuliah, merefleksikan pertemuan, mengulas bacaan, atau sekadar bertanya pada diri sendiri.
Menulis membuat saya belajar tentang keterbatasan saya sendiri. Betapa kadang saya tidak tahu apa yang saya pikirkan, sampai saya mencoba menuangkannya dalam kata. Betapa sering saya merasa telah paham, namun ternyata kosong ketika diminta menjelaskan lewat tulisan.
Dan, dalam kesadaran itu, saya merasa bersyukur. Karena pernah bertemu seseorang seperti Prof. Syukri—yang tidak hanya menyampaikan pengetahuan, tapi juga menyalakan api keberanian untuk berpikir dan mencatat. Beliau bukan hanya menyuruh kami menulis; beliau memberi alasan mengapa kami harus menulis.
Hari ini, ketika saya kembali membuka catatan-catatan lama dari kelas filsafat ilmu, saya menemukan jejak diri saya yang sedang tumbuh. Ada kalimat-kalimat tanggung, gagasan yang setengah matang, bahkan pemahaman yang keliru. Tapi saya tahu, semuanya adalah bagian dari perjalanan. Dan perjalanan itu bermula dari satu momen yang tak akan saya lupakan: pertemuan dengan Prof. Syukri, dan ajarannya tentang menulis sebagai jalan menuju keabadian makna.