Di dunia ini, bukan Anda satu-satunya yang tengah dihimpit resah. Banyak hati lain yang terselubung takut, dikepung cemas, terpuruk dalam penyesalan, atau malah hidup dengan menanggung aib yang tak terkatakan. Namun, seolah tak peduli, dunia masih saja tetap berjalan, tak mau menunggu, walau sekadar memberikan kesempatan bagi kita untuk memperbaiki masa lalu; dunia tetap melaju tanpa simpati, tak menawarkan waktu untuk kita menengok masa lalu dan membentuknya kembali.
Andaikan saja dunia ini mau berkompromi, ia mau memutar waktu, mungkin banyak yang ingin ayah dan ibunda tercinta dihidupkan kembali. Hanya untuk sekadar mengecup kening mereka, memeluk dengan segenap hati, atau berbisik penuh haru bahwa “mereka lebih berharga dari segala kemewahan yang ada dunia ini”.
Andai waktu bisa diputar kembali, banyak di antara kita yang mungkin ingin memperbaiki semua yang pernah disesalkan. Ada yang berharap bisa menjadi teman setia yang tak pernah berkhianat; atau menjadi seorang sahabat yang mampu memeluk dalam keikhlasan tanpa pamrih, tanpa harap balasan. Mungkin, ada pula yang ingin menjadi kekasih yang setia, dengan cinta yang tak pernah berkurang, tak tergerus oleh waktu ataupun keadaan. Kita ingin hadir dalam hidup orang lain sebagai sosok yang tulus, tak menyakiti, selalu menyemangati, dan memberi arti. Ada pula yang ingin kembali, menghapus khilaf, untuk menjadi sosok yang mereka harapkan. Tapi sayang, masa lalu tetaplah masa lalu—tak tersentuh, tak terjamah.
Andai waktu dapat berputar kembali, betapa banyak di antara kita yang mendambakan kesempatan untuk tidak berbuat aib, menjauh dari tindakan yang merobek harga diri dan menghinakan jiwa. Banyak yang ingin menghapus jejak kelam yang pernah terlukis, pilihan-pilihan yang diambil dalam penuh sadar atau ketidaksadaran, kini hanya menyisakan penyesalan yang menyakitkan. Ada yang ingin menjadi sosok yang bersih, tak ternoda oleh dosa dan kebodohan, sebuah perjalanan hidup yang mulia, tak dipenuhi noda-noda kelam yang menghimpit hati.
Kita merindukan jalan yang bersih, melangkah di atas tanah suci tanpa mencemari diri dengan aib yang dapat mencederai martabat. Dalam setiap nafas, ada harapan untuk selalu tampil dengan jiwa yang bersih, tanpa beban kesalahan yang menggerogoti ketenangan. Kita ingin mengukir setiap langkah dengan kebaikan, melafalkan setiap kata dalam kejujuran, dan menancapkan setiap niat dalam kesungguhan. Bukankah itu yang kita inginkan andai dunia menawarkan waktu dapat diputar kembali?
Namun, dunia ini enggan memberikan kita kemewahan untuk mengulang masa lalu. Ia terus melaju, seolah tak peduli dengan luka yang menganga di dalam dada kita. Andai saja dunia mau memberi sedikit kelapangan, mungkin banyak di antara kita yang akan memilih jalan yang benar, terhindar dari jeratan aib yang mengundang penyesalan.
Seperti layaknya dunia ini, waktu tak pernah mundur; dunia ini berjalan hanya ke satu arah. Andai dunia mau bersikap lunak, mau berhenti sejenak untuk memberi kesempatan pada kita untuk mengulang langkah, mungkin banyak hati yang terhindar dari luka dan penyesalan. Namun, dunia memang tidak begitu. Dunia berjalan tanpa peduli dengan perasaan atau penyesalan kita, barangkali ia sengaja meninggalkan kita untuk belajar dari setiap jejak yang telah terukir.
Namun, meski dunia tak memberi kendali atas masa lalu, ia masih menawarkan lembaran-lembaran baru. Allah Swt. pemilik dunia ini mengatakan,
“Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. al-Zumar: 53)
Di hadapan kita terbentang masa depan, dan kesempatan untuk melukisnya ada di tangan. Lalu mengapa tidak mengambil keputusan bijak, sekarang? Agar di masa depan, dunia tak lagi menertawakan.
Percayalah, siapapun kita—entah mereka yang dicap mulia atau yang berlumur cela—Allah adalah Tuhan kita semua. Tuhan yang Maha Pengasih, tak pernah meninggalkan kita dalam kelam.
Bagi yang telah kehilangan orang tua, Allah menjanjikan keistimewaan bagi anak yang saleh, yang akan terus terhubung melalui doa dan bakti yang tulus. Rasulullah bersabda:
"Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya." (HR. Muslim)
Bagi mereka yang jatuh dalam dosa, Pintu Taubat Allah terbuka seluas-luasnya, mengundang setiap jiwa yang ingin kembali kepada-Nya. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi siapa saja yang bertobat, beriman, dan beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar." (QS. Thaha: 82)
Dan bagi yang merasa dihinakan karena aib, Allah pasti mengangkat derajat kita kembali, dengan jalan ketakwaan, Allah mengajak kita dengan firmannya:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujurat: 13).
Sebelum masuk Islam, Umar bin Khattab adalah seorang pemuda yang sangat disegani dan dikenal keras, bahkan terkenal karena permusuhannya terhadap Islam. Dalam kejahiliahannya, Umar pernah berencana membunuh Nabi Muhammad ﷺ demi menjaga tradisi lama kaumnya. Ia juga sering terlibat dalam tindakan keras yang menindas kaum Muslim. Pada suatu hari, ketika ia pergi untuk melaksanakan niatnya yang penuh kemarahan itu, Allah membuka hatinya kepada kebenaran Islam dengan cara yang sangat tidak terduga.
Di tengah perjalanan menuju Nabi, Umar diberitahu bahwa adik perempuannya, Fatimah, telah memeluk Islam. Dalam kemarahannya, ia mendatangi rumah sang adik, yang saat itu tengah membaca Al-Qur'an. Umar pun memukulnya, hingga darah mengucur di wajahnya. Namun melihat keteguhan hati Fatimah dan membaca ayat-ayat suci, hati Umar luluh. Ia meminta untuk membaca lebih banyak ayat Al-Qur’an, dan akhirnya menangis tersungkur. Saat itu, hidayah turun dan Umar mengucapkan kalimat syahadat, menerima Islam dengan hati yang bersih.
Baca Juga: Menyingkap Makna Hikmah
Taubat Umar adalah salah satu yang paling mendalam dan tulus. Setelah masuk Islam, ia tidak hanya menjadi Muslim yang patuh, tetapi juga menjadi salah satu pembela Islam yang paling gigih. Keberaniannya, kebijaksanaannya, dan kekuatannya dalam membela kebenaran membuatnya menjadi salah satu sahabat yang paling dicintai oleh Nabi ﷺ. Umar kemudian menjadi khalifah kedua setelah Abu Bakar as-Shiddiq r.a., dan di bawah kepemimpinannya, Islam mengalami banyak kemenangan besar, termasuk perluasan wilayah Islam yang luas dan penerapan hukum yang adil.
Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
"Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka — dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? — dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui." (QS. Ali Imran: 135)
Kisah Umar bin Khattab r.a. mengingatkan kita bahwa seburuk apapun masa lalu seseorang, Allah membuka pintu taubat bagi siapa pun yang sungguh-sungguh ingin berubah. Dengan hati yang bersih dan tekad yang kuat, dosa masa lalu dapat berubah menjadi kebaikan, dan mereka yang bertaubat sungguh-sungguh akan diangkat derajatnya.
Fudhail bin ‘Iyadh dulunya adalah seorang perampok terkenal di wilayah Khurasan. Dengan kekerasan dan tipu daya, ia sering merampas harta orang-orang yang lewat di jalan. Kehidupannya jauh dari Allah, dan ia tenggelam dalam berbagai kemaksiatan tanpa rasa takut atau menyesal.
Suatu malam, saat sedang merencanakan perampokan, ia mendengar seseorang membaca ayat Al-Qur'an:
"Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun?" (QS. Al-Hadid: 16)
Kata-kata dalam ayat tersebut menusuk hati Fudhail seperti panah. Ia tertegun, dan hatinya mulai terguncang. Fudhail merasakan ketakutan dan penyesalan yang sangat mendalam. Malam itu juga, ia memutuskan untuk meninggalkan jalan dosa dan kekerasan yang selama ini ia tempuh. Dengan tekad kuat, Fudhail bertobat kepada Allah dan mulai mengisi hidupnya dengan kebaikan.
Sejak saat itu, Fudhail berubah total. Ia meninggalkan dunia kejahatan dan memfokuskan hidupnya pada ibadah dan pencarian ilmu. Dalam waktu yang tidak lama, ia menjadi seorang ulama yang dikenal karena ketakwaannya dan kedalamannya dalam ilmu agama. Banyak orang dari berbagai penjuru datang untuk belajar darinya dan mengambil hikmah dari kehidupannya yang penuh perubahan.
Kisah Fudhail bin ‘Iyadh adalah bukti bahwa tidak ada dosa yang terlalu besar bagi rahmat Allah. Pintu taubat selalu terbuka, dan Allah akan mengangkat derajat orang yang bertobat dengan tulus. Kisah ini memberikan harapan bagi siapa pun yang ingin kembali kepada-Nya, betapa pun kelam masa lalunya.
Allah berfirman:
"Katakanlah: ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’" (QS. Az-Zumar: 53)
Dari seorang perampok yang ditakuti menjadi seorang ulama yang dicintai, Fudhail bin ‘Iyadh adalah teladan bahwa perubahan selalu mungkin, dan siapa pun yang kembali kepada Allah dengan taubat yang tulus akan diangkat derajatnya.
Hindun binti Utbah, istri dari Abu Sufyan dikenal sebagai wanita yang sangat memusuhi Islam di masa jahiliah. Salah satu tindakan yang paling mengejutkan adalah ketika ia memerintahkan pembunuhan terhadap Hamzah bin Abdul-Muthalib, paman Nabi Muhammad ﷺ, dalam Perang Uhud, dan bahkan merusak jasadnya setelah wafat.
Hindun adalah wanita yang penuh kebencian terhadap kaum Muslimin kala itu. Rasa dendamnya begitu mendalam, sehingga ia melakukan hal-hal keji yang sangat mencoreng martabatnya sendiri. Namun, ketika Mekah berhasil dibebaskan oleh kaum Muslimin dan Hindun tidak lagi punya pilihan selain menerima kenyataan kekuasaan Islam di Mekah, ia merasakan perubahan hati. Hindun mulai memahami kelembutan dan kebijaksanaan ajaran Islam serta kasih sayang Nabi Muhammad ﷺ.
Akhirnya, Hindun mendatangi Rasulullah ﷺ untuk mengucapkan syahadat, dan taubatnya diterima dengan penuh pengampunan. Ia menyadari kesalahan masa lalunya, dan dengan hati yang tulus memeluk Islam. Setelah keislamannya, Hindun berubah menjadi sosok yang penuh kesungguhan dalam beribadah dan dikenal sebagai salah satu perempuan yang terhormat di kalangan kaum Muslimin. Hindun memperlihatkan penyesalan yang mendalam dan menjalani hidupnya dengan penuh taqwa dan penghormatan kepada Rasulullah ﷺ.
Kisah Hindun binti Utbah adalah pengingat bahwa meskipun masa lalu seseorang mungkin kelam, pintu taubat selalu terbuka. Allah menerima taubat mereka yang tulus dan mengangkat derajat orang yang menyesal dan berserah diri kepada-Nya.
Allah berfirman:
"Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka — dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah?" (QS. Ali Imran: 135)
Kisah Hindun mengajarkan bahwa rahmat Allah mencakup semua orang yang ingin memperbaiki diri. Dengan taubat yang tulus, seseorang yang pernah memiliki aib besar dapat diangkat derajatnya dan menjadi sosok yang mulia di sisi Allah.
Kisah Fir’aun adalah salah satu contoh yang kuat tentang luasnya rahmat Allah. Fir’aun dikenal sebagai penguasa Mesir yang sombong, keras, dan kejam. Dia menindas Bani Israil, mengaku sebagai Tuhan, dan melakukan kekejaman yang tak terhitung jumlahnya. Namun, bahkan kepada Fir’aun yang sangat zalim itu, Allah tetap menunjukkan kasih sayang-Nya dengan mengirim Nabi Musa dan Nabi Harun untuk memberi peringatan dan mengajaknya kepada jalan kebenaran.
Allah memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk mendatangi Fir’aun dan menyampaikan risalah dengan lemah lembut, meskipun Fir’aun adalah orang yang mengaku sebagai Tuhan dan menyebarkan kekejian. Allah berfirman:
"Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 43–44)
Meskipun Fir’aun adalah seorang tiran, Allah tetap memberinya kesempatan untuk bertaubat. Fir’aun berulang kali diingatkan dengan mukjizat Nabi Musa, termasuk tongkat yang berubah menjadi ular dan tangan yang bercahaya sebagai tanda kekuasaan Allah. Namun, Fir’aun menolak dan memilih untuk tetap keras hati hingga akhirnya Allah menghukumnya.
Kisah Fir’aun mengajarkan bahwa rahmat Allah begitu luas, bahkan kepada seorang penguasa yang sombong dan penuh dosa. Jika Fir’aun yang sekejam itu pun diberi kesempatan untuk bertaubat, maka betapa besar kesempatan kita, yang mungkin tidak memiliki dosa sebesar Fir’aun, untuk mendapatkan ampunan Allah. Allah menunggu taubat dari setiap hamba-Nya, dan bagi siapa saja yang berserah diri dengan tulus, rahmat Allah sangatlah luas.
"Katakanlah: ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’" (QS. Az-Zumar: 53)
Kisah ini mengingatkan kita bahwa apa pun kesalahan kita, rahmat Allah selalu ada bagi mereka yang ingin kembali kepada-Nya. Jika Fir’aun pun masih diberi kesempatan untuk bertaubat, tidakkah kita, yang dosanya (mungkin) tidak seperti Fira’aun, pantas untuk mengharapkan ampunan dan kasih sayang Allah?
Kini saatnya untuk bangkit, melepaskan belenggu penyesalan yang selama ini mengikat jiwa. Dunia ini bergerak tanpa henti, mengundang kita untuk melangkah bersama menuju cakrawala masa depan yang penuh harapan. Tinggalkanlah himpitan masa lalu; jangan biarkan harapan meredup oleh bayang-bayang masa lalu. Segala yang terjadi adalah takdir dari Allah Swt., Tuhan Yang Maha Adil dan Bijaksana, dan ketetapan-Nya tak mungkin keliru.
Di balik kabut kelam itu, ada kisah mereka yang dulu terpuruk dalam lembah kehinaan, terseret dalam nestapa dan dicemooh oleh banyak mata, namun kini bangkit menapaki puncak kemuliaan. Mereka yang menemukan kekuatan di tengah kelemahan, menyalakan cahaya di ujung gelap, mengubah penyesalan menjadi pendorong untuk meraih kemuliaan.
Menengok masa lalu dengan dendam dan kebencian hanya akan membuat kita terjebak dalam lingkaran yang sia-sia; kita hanya akan menumbuk tepung atau menggergaji serbuk kayu, tanpa arah yang jelas: kesia-siaan. Oleh karena itu, berjalanlah sesuai sunnah kehidupan yang terus melaju ke depan, dan jadilah jiwa yang ikhlas menerima, tegar menghadapi segala cobaan, dan siap menggapai masa depan yang cerah. Biarkan setiap langkah membawa kita lebih dekat pada cahaya, menjadikan kita pribadi yang lebih baik, lebih kuat, dan lebih mulia.
Baca Juga: Shalat Rutin tapi Maksiat Masih Rajin: Mengapa?