Bersua Prof. Muhammad Syukri Albani Nasution: Filsafat, Catatan Kecil, dan Jalan Menuju Bijak


Selepas salat zuhur di Masjid Al-Izzah UINSU, langit tidak terlalu terik, angin pun mengalir pelan menyapu pelataran kampus, membawa aroma tanah yang baru saja tersiram hujan. Tanggalnya tercetak jelas dalam ingatan saya: 14 Oktober 2014. Bukan karena peristiwa besar terjadi secara umum, melainkan karena hari itu saya mengalami pertemuan yang mengubah cara pandang saya terhadap banyak hal.

Hari itu, saya bertemu dengan seorang pemikir, yang oleh sebagian orang dikenal sebagai akademisi, tetapi bagi saya, ia adalah seorang filsuf yang berjalan di antara kita dengan langkah sederhana tapi di jembatan orang-orang besar: Prof. Dr. Muhammad Syukri Albani Nasution, M.A., atau yang sejak saat itu lebih akrab kami panggil Bang Syukri. 

Masa Perkenalan Calon Anggota Himpunan Mahasiswa Islam, atau yang biasa kami sebut Maperca HMI menjadi pertemuan pertama saya dengan beliau. Kegiatan yang disusun untuk membentuk kader intelektual Muslim ini, siang itu, mengundang Prof Syukri sebagai pemateri Filsafat. Dalam hati, saya bersiap dengan ekspektasi yang moderat—sebuah paparan tentang filsafat yang barangkali tidak akan jauh dari definisi klasik tentang ‘cinta kebijaksanaan’, dan nama-nama Yunani yang sering kali terasa jauh dari denyut nadi kehidupan saya.

Namun, semua ekspektasi itu runtuh, dan saya bersyukur karenanya.

Seorang pria bertubuh sedang dan berkemeja santai duduk di depan kami. Tidak ada teks di tangannya. Tidak pula ada slide yang diproyeksikan ke layar putih. Ia hanya membawa satu lembar kertas kecil, dan dari sanalah narasi besar akan lahir.

Beliau memulai dengan pertanyaan yang tampak konyol bagi sebagian peserta: “Mengapa kita harus makan pakai tangan?” Lalu, sejurus kemudian menyusul pertanyaan lain, “Mengapa kalian harus pakai baju?”

Ruangan pun mendadak gaduh. Beberapa tertawa, yang lain saling berpandangan—mencoba menakar apakah pertanyaan itu sungguh serius, atau hanya pembuka pengantar.

Tetapi tak satupun dari kami mampu menjawab dengan memuaskan. Kami, yang tengah dipersiapkan menjadi kader intelektual, tak kuasa menyusun argumen untuk pertanyaan sederhana yang kami temui setiap hari.

Prof Syukri pun menatap kami, kemudian mengucapkan kalimat yang membekas dalam benak saya hingga hari ini: “Terkadang, untuk hal-hal kecil kita tak punya jawaban atau alasan mengapa kita melakukan atau memilih, lalu bagaimana pula kita mau bicara hal yang besar?”

Kalimat itu mengguncang kesadaran saya. Kita memang sering kali begitu tergesa untuk menjadi ‘besar’, untuk merumuskan cita-cita tinggi, tanpa pernah benar-benar memahami mengapa kita hidup dengan cara yang sekarang kita jalani. Filsafat, dalam tutur Prof Syukri, bukanlah tumpukan teori yang usang di perpustakaan. Filsafat adalah keberanian untuk bertanya, bahkan pada yang paling remeh. Filsafat, dalam narasinya, adalah alat untuk memaknai hidup.

Sesi pun berlanjut. Beliau mengangkat lembar kertas kecil yang tadi dibawanya. “Saya sarankan kalian mencatat semua agenda, dan jangan lupa malam evaluasi,” katanya. “Ini ada catatan dari tahun 2013. Mahasiswa yang belum mengirim tugas masih tercatat di sini. Semua agenda saya hari ini juga saya tulis di sini.”

Dari lembar kertas itu, saya menangkap satu pesan besar: mimpi besar hanya mungkin diwujudkan jika kita mampu memetakan hal-hal kecil. Visi, sebesar apa pun, akan tetap melayang di awang-awang jika tidak ditambatkan pada tindakan yang konkret dan terencana.

“Keinginan atau cita-cita besar harus bisa ditransmutasikan secara konkret,” katanya, “jadi kita bisa tahu pencapaian dan PR kita secara berkala.”

Di titik ini, saya menyadari bahwa yang saya hadapi bukan sekadar akademisi yang fasih dalam literatur filsafat. Saya tengah berhadapan dengan seseorang yang sungguh menjalani phronesis—sebuah konsep Aristotelian yang merujuk pada kebijaksanaan praktis. Filsafat yang tak hanya berhenti pada berpikir, tetapi mengalir ke dalam tindakan, keputusan, dan kehidupan sehari-hari.

Lalu, beliau menceritakan bagaimana ia datang ke kegiatan ini. “Saya datang ke sini karena merasa berhutang dengan HMI. Jadi saya hadir, dan sudah saya catat di kertas ini bahwa saya akan hadir, lalu nanti malam saya akan ceklis pencapaian hari ini” tuturnya. Kalimat itu tak berhenti di sana. Ia melanjutkan dengan penjelasan tentang bagaimana ia memutuskan untuk datang dengan angkot, bukan dengan mobil pribadinya.

“Kalau saya naik mobil, saya akan mikir resiko ban bocor dan lain-lain. Fokus saya ke mobil. Tapi di angkot saya cuma perlu lima ribu rupiah, dan saya bisa titipkan resiko itu ke sopir. Saya bisa baca buku dengan santai.”

Lagi-lagi, saya tertegun. Dalam pemilihan moda transportasi yang tampaknya sederhana, beliau menyisipkan satu kebijaksanaan: bahwa pilihan yang kita ambil seharusnya didasarkan pada efektivitas dan kesadaran. Bahwa simplicity bukanlah kemiskinan pilihan, tetapi hasil dari pemikiran yang matang.

Apa yang beliau sampaikan hari itu sungguh jauh dari yang saya bayangkan sebagai ceramah filsafat. Tidak ada parade nama-nama besar seperti Plato atau Descartes. Tidak ada kutipan panjang dari Immanuel Kant atau Heidegger. Tetapi di sanalah letak kekuatannya. Filsafat yang disampaikan Prof Syukri adalah filsafat yang bernapas—yang hidup dan menyentuh kehidupan harian kita.

Jika biasanya filsafat hadir dalam bentuk konsep-konsep abstrak, kali ini ia hadir dalam wujud cerita, pilihan, kebiasaan, dan refleksi. Kali ini, saya tidak merasa sedang belajar filsafat, tetapi sedang mengalami filsafat itu sendiri.

Dan di situlah saya pertama kali mengenal phronesis—bukan dari buku, bukan dari kuliah, tapi dari seseorang yang mempraktikkannya. Phronesis, dalam tradisi filsafat Yunani, adalah bentuk kebijaksanaan yang paling manusiawi. Ia bukan sekadar sophia—pengetahuan teoritik yang luhur dan tinggi—tetapi kebijaksanaan yang lahir dari pengalaman, konteks, dan kesadaran praktis akan situasi yang dihadapi.

Phronesis bukan hanya tahu apa yang benar, tapi mampu memilih dengan bijak dalam realitas yang kompleks.

Sepulang dari acara itu, saya tak bisa langsung tidur. Pikiran saya berputar. Bukan karena bingung, tapi karena tergerak. Untuk pertama kalinya, saya merasa filsafat bukan sesuatu yang perlu dijauhkan dari kehidupan saya. Ia tidak lagi menjadi barang mewah yang hanya layak untuk para akademisi, tetapi menjadi semacam lentera yang bisa kita genggam, sekecil apa pun cahaya yang ia pancarkan.

Sejak itu, saya mulai mencatat. Bukan hanya catatan kuliah, tetapi juga catatan harian, perenungan, dan keputusan-keputusan kecil yang saya ambil. Saya mulai bertanya “mengapa” pada hal-hal yang sebelumnya saya anggap biasa: mengapa saya memilih jurusan ini? Mengapa saya berteman dengan orang-orang tertentu? Mengapa saya memilih untuk diam dalam situasi tertentu?

Saya mulai memandang hidup bukan sebagai sekumpulan kebetulan, tetapi sebagai rangkaian pilihan yang bisa dipikirkan, dipertanggungjawabkan, dan jika perlu, diubah.

Prof Syukri tidak hanya menyampaikan materi filsafat. Ia memperlihatkan bagaimana filsafat bisa dijalani, bukan hanya dibicarakan. Ia mengajarkan bahwa kebijaksanaan tidak selalu datang dari definisi yang rumit, tetapi justru dari keberanian untuk menyederhanakan.

Dan di situlah saya belajar, bahwa menjadi intelektual bukan hanya tentang memiliki banyak pengetahuan, tetapi juga tentang memiliki phronesis—kebijaksanaan praktis yang menjembatani idealisme dan realitas.

Filsafat, pada akhirnya, bukan sekadar soal berpikir. Ia adalah soal menjalani.

Lebih baru Lebih lama