Saya tak tahu persis, sejak kapan pertanyaan itu menjadi ciri khas Prof. Syukri. Tapi yang pasti, siapa pun yang pernah berbincang atau berinteraksi dengan beliau, apalagi di pagi hari, nyaris pasti akan menerima pertanyaan itu: “Siapa imam salat Subuhmu tadi?”
Bukan basa-basi. Bukan pula jebakan formalitas. Pertanyaan itu sederhana namun tajam, seperti sorotan cahaya ke dalam gua kesadaran kita yang paling sunyi. Ia tidak sedang menagih hafalan dalil atau argumen fikih. Ia menagih kejujuran eksistensial: Apakah engkau benar-benar memulai harimu dengan kesadaran akan Tuhan?
Saya pun tidak luput dari pertanyaan itu. Dan bagi saya, pertanyaan itu mudah dijawab—setidaknya secara teknis. Saat itu, saya (selama kuliah) memang adalah imam sekaligus marbot di salah satu masjid di Kota Medan. Saya tidak hanya tahu siapa imam salat Subuh saya; sayalah imamnya. Tapi rupanya, bukan itu inti dari pertanyaan beliau.
Yang beliau cari bukan sekadar nama imam atau lokasi salat. Pertanyaan itu adalah pintu masuk untuk mengukur kebiasaan, komitmen, dan keberpihakan kita pada nilai-nilai dasar: kedisiplinan spiritual, kesungguhan dalam ibadah, dan integritas keimanan.
Satu hal yang sangat khas dari Prof. Syukri adalah perhatian luar biasanya terhadap salat. Ia bukan sekadar mengingatkan, tapi benar-benar menjadikan salat sebagai barometer utama dalam setiap dimensi kehidupan.
Dalam forum apapun—baik diskusi akademik, rapat tim kerja, hingga sidang munaqasyah mahasiswa—pertanyaan tentang salat kerap hadir, bahkan menjadi tolok ukur dalam evaluasi. Ia pernah menegur tim kegiatan hanya karena ada laporan bahwa sebagian panitia tidak hadir salat berjamaah. Baginya, tak masuk akal bila orang yang memikul tugas dakwah atau akademik justru mengabaikan hal yang paling mendasar dalam hidup seorang Muslim.
Saya bahkan masih ingat satu peristiwa yang mengukuhkan kesungguhan beliau dalam perkara ini. Suatu hari, saya berkunjung ke rumahnya. Kala itu, suasana sore yang tenang terganggu oleh kesibukan beliau menyusuri gang di sekitar kompleks perumahannya. Ternyata, beliau sedang mencari salah satu anaknya. Bukan karena anak itu pulang larut, atau berbuat nakal. Tapi karena anak itu tidak terlihat ikut salat berjamaah di masjid.
“Kenapa tak salat di masjid?” tanyanya kepada sang anak, dengan nada yang lembut tapi penuh ketegasan.
Sang anak mencoba menjelaskan bahwa ia salat di rumah temannya. Namun, penjelasan saja tak cukup. Prof. Syukri meminta temannya itu untuk datang dan menjadi saksi.
Bagi sebagian orang, ini mungkin terlihat berlebihan. Tapi tidak bagi beliau. Dalam logika hidup Prof. Syukri, salat bukan sekadar kewajiban yang bersifat individual. Ia adalah cermin dari keterhubungan antara seseorang dengan Tuhan, sekaligus fondasi kepercayaan dalam hidup bermasyarakat.
“Bagaimana mungkin kita bisa mempercayai seseorang yang tidak salat? Sedangkan kepada Tuhannya saja ia tega berkhianat,” ujar beliau suatu waktu.
Kalimat itu bukan dogma. Ia adalah renungan keras yang menampar kesadaran saya. Betapa sering kita percaya kepada orang hanya karena tutur katanya halus, atau karena status sosialnya mentereng, tapi lupa bertanya—apakah ia benar-benar tunduk pada Tuhan?
Bagi Prof. Syukri, salat adalah kebutuhan, bukan sekadar kewajiban. Seperti tubuh yang butuh air, ruh pun butuh salat. Maka, ketika seseorang meninggalkan salat, itu bukan hanya soal dosa, tapi soal kehilangan makna hidup. Salat, bagi beliau, adalah fondasi semua tindakan. Ia menata waktu, menundukkan ego, dan mengingatkan kita akan batas-batas eksistensi.
Saya pribadi merasakan bahwa pendekatan spiritual semacam ini tidak menjadikan Prof. Syukri sosok yang eksklusif. Justru sebaliknya, beliau tampil sebagai pribadi yang seimbang—tajam secara intelektual, namun tetap merunduk di hadapan Tuhan. Ia bisa berbicara tentang phronesis, epistemologi, dan postmodernisme, namun tetap gelisah jika tak menemukan anaknya di barisan salat berjamaah.
Inilah barangkali warisan terbesar beliau: bukan hanya ilmu, tapi teladan. Bukan hanya logika, tapi juga adab. Dan itu semua bermula dari pertanyaan yang sederhana, namun dalam maknanya:
“Siapa imam salat Subuhmu tadi?”