Mengenal Hermeneutika
Hermeneutika, dalam pengertian yang paling sederhana, adalah suatu metode yang digunakan untuk menafsirkan simbol-simbol, terutama teks, atau segala sesuatu yang dapat diperlakukan sebagai teks. Tujuan utama dari hermeneutika adalah untuk menemukan makna yang tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut. Metode ini menuntut kemampuan untuk memahami peristiwa atau gagasan yang terjadi di masa lalu, yang mungkin tidak dialami secara langsung oleh penafsir, dan kemudian menghubungkannya dengan konteks yang ada di masa kini.
Kata "hermeneutika" sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu "hermeneuein," yang berarti "menafsirkan." Dari akar kata ini juga muncul istilah hermeneia, yang mengandung makna "penafsiran" atau "interpretasi," serta hermeneutes, yang merujuk pada individu yang melakukan penafsiran. Istilah ini sering kali dikaitkan dengan dewa Hermes dalam mitologi Yunani. Hermes memiliki peran penting sebagai utusan para dewa, bertugas untuk menyampaikan pesan-pesan dewa tersebut kepada manusia. Perannya tidak hanya sebatas sebagai pembawa pesan, tetapi juga sebagai penafsir yang memastikan bahwa pesan-pesan dari dewa dapat dipahami dengan baik oleh umat manusia.
Menarik untuk dicatat bahwa terdapat perbedaan antara istilah "hermeneutic" (tanpa huruf "s") dan "hermeneutics" (dengan huruf "s"). Hermeneutic adalah kata sifat yang menggambarkan sifat penafsiran, sedangkan hermeneutics adalah kata benda yang mengandung tiga makna utama yang berbeda. Pertama, hermeneutics sebagai ilmu penafsiran, kedua, sebagai ilmu untuk memahami maksud yang terkandung dalam kata-kata atau ungkapan yang dihasilkan oleh penulis, dan ketiga, sebagai penafsiran yang khusus berkaitan dengan kitab suci.
Lebih lanjut, hermeneutika juga sering dipahami sebagai "proses yang mengubah sesuatu atau situasi dari ketidaktahuan menjadi pengetahuan dan pemahaman." Definisi ini umumnya disepakati oleh banyak kalangan, namun jika kita teliti lebih dalam, hermeneutika dapat diartikan sebagai tiga hal yang saling terkait.
Pertama, hermeneutika berfungsi untuk mengungkapkan pikiran seseorang melalui kata-kata, melakukan penerjemahan, dan bertindak sebagai penafsir.
Kedua, hermeneutika mengalihkan makna dari suatu bahasa asing yang sebelumnya sulit dipahami ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh pembaca. Ketiga, hermeneutika bertujuan untuk mengubah ungkapan pikiran yang kurang jelas menjadi lebih terang dan jelas.
Definisi yang lebih luas diungkapkan oleh Zygmunt Bauman, yang mendefinisikan hermeneutika sebagai upaya untuk menjelaskan dan menelusuri pesan atau pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang kabur, kontradiktif, atau sulit dipahami. Konsep ini, jika diterapkan, dapat membantu mengatasi kebingungan yang mungkin dihadapi oleh pendengar atau pembaca dalam memahami makna yang terkandung dalam teks.
Jejak pemikiran hermeneutika dapat dilacak hingga zaman Yunani Kuno, dengan diskursus awal yang ditemukan dalam tulisan Aristoteles berjudul "Peri Hermenians". Seiring berjalannya waktu, konsep hermeneutika mengalami perkembangan yang pesat dan mengalami perubahan, baik dari segi persepsi maupun aplikasinya. Dalam perkembangan tersebut, Richard E. Palmer membagi kronologi definisi dan pengertian hermeneutika ke dalam enam kategori yang saling melengkapi:
Hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci: Ini berfokus pada bagaimana teks-teks religius diinterpretasikan dengan cara yang benar, sehingga makna yang terkandung di dalamnya dapat dipahami dengan akurat.
Hermeneutika sebagai metode filologi: Dalam konteks ini, hermeneutika menggunakan kajian bahasa dan sejarah untuk memahami teks-teks klasik, yang sering kali mencerminkan pandangan dan nilai-nilai zamannya.
Hermeneutika sebagai pemahaman linguistik: Pendekatan ini menyoroti bagaimana bahasa membentuk cara kita memahami dunia dan bagaimana struktur serta penggunaan bahasa dapat mempengaruhi interpretasi makna.
Hermeneutika sebagai fondasi dari geisteswissenschaft (ilmu-ilmu humaniora): Dalam hal ini, hermeneutika menggarisbawahi pentingnya penafsiran dalam memahami fenomena sosial dan budaya, dengan menyadari bahwa konteks sosial sangat memengaruhi interpretasi.
Hermeneutika sebagai fenomenologi dasein: Pendekatan ini mengacu pada filsuf Jerman, Martin Heidegger, yang menghubungkan penafsiran dengan eksistensi manusia, menggambarkan bagaimana individu berinteraksi dengan dan memahami dunia di sekitarnya.
Hermeneutika sebagai sistem interpretasi: Ini mencakup sebuah kerangka kerja yang lebih luas yang diterapkan dalam berbagai disiplin ilmu, untuk memahami makna secara mendalam dan komprehensif.
Hermeneutika sebagai Teori Penafsiran Kitab Suci
Hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci pertama kali diperkenalkan oleh J.C. Dannhauer dalam karyanya yang berjudul Hermeneutica Sacra. Dalam buku tersebut, Dannhauer mendefinisikan hermeneutika sebagai suatu proses pemahaman terhadap teks-teks suci, terutama yang dilakukan oleh para agamawan dan cendekiawan yang memiliki keahlian di bidang keagamaan. Meskipun kegiatan penafsiran itu sendiri telah berlangsung jauh sebelum abad ke-17, penggunaan istilah "hermeneutika" mulai dilakukan secara formal pada masa tersebut.
Dalam tradisi agama Yahudi, kegiatan tafsir sudah dimulai dengan kehadiran para ahli kitab yang secara khusus fokus pada penafsiran teks-teks Taurat. Di sisi lain, tradisi Kristen awal juga melibatkan penafsiran terhadap Perjanjian Lama, yang kemudian berlanjut dengan pembentukan Perjanjian Baru. Di dalam sejarah Kristen, kita dapat melihat dua pendekatan utama dalam menafsirkan kitab suci, yaitu penafsiran harfiah yang dikenal sebagai Mazhab Antiokia dan penafsiran simbolik yang dikenal sebagai Mazhab Alexandria.
Sementara itu, dalam konteks Islam, kegiatan penafsiran yang sebanding juga berlangsung dalam bentuk tafsir Al-Qur'an. Dalam tradisi tafsir Al-Qur'an, terdapat dua pendekatan utama yang dikenal, yaitu tafsir bi al-ma’tsur, yang berlandaskan pada riwayat dan tradisi, dan tafsir bi al-ra’yi, yang lebih mengandalkan pemikiran dan interpretasi penafsir. Perbedaan metode penafsiran dalam tradisi Kristen mencapai puncaknya pada saat Reformasi. Pada masa ini, umat Protestan berpegang pada prinsip sola scriptura, yang menekankan bahwa hanya kitab suci yang menjadi rujukan utama, sementara tradisi Katolik menambahkan aspek tradisi dalam proses penafsirannya. Perdebatan yang muncul dari perbedaan ini menunjukkan bahwa hermeneutika memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk tatanan teologi dan sosial di kalangan masyarakat Kristen.
Dari sudut pandang hermeneutika, keragaman metode dan hasil penafsiran dapat dilihat sebagai akibat dari interaksi antara teks dan konteks penafsir. Pada masa klasik, banyak penafsir mengklaim bahwa tafsiran mereka adalah yang paling benar. Hal ini sering kali menimbulkan konflik di antara berbagai aliran dan sekte yang berbeda.
Di era modern, Friedrich Schleiermacher diakui sebagai bapak Hermeneutika Modern. Ia memperkenalkan pendekatan hermeneutika romantik, yang bertujuan untuk mengatasi konflik dalam penafsiran teks. Schleiermacher membedakan antara dimensi sakral dan profan dalam penafsiran, serta menekankan pentingnya memahami aspek gramatikal dan psikologis yang terkandung dalam teks. Hermeneutika Schleiermacher mencakup dua aspek utama: pemahaman gramatikal dan pemahaman psikologis atau kreativitas penulis.
Menurut Schleiermacher, seorang penafsir sering kali tidak menyadari konteks psikologis dan sosial yang mempengaruhi penafsirannya. Hal ini menyebabkan penafsir menganggap bahwa hasil tafsirnya adalah yang paling objektif. Dengan demikian, hermeneutika berusaha untuk mengungkap konteks historis dan psikologis di balik setiap penafsiran guna memberikan pemahaman yang lebih utuh.
Berdasarkan ide-ide yang dikemukakan oleh Schleiermacher, hermeneutika modern merumuskan beberapa pertanyaan penting, antara lain: bagaimana cara yang tepat untuk memahami teks, perbedaan antara ilmu kultural dan natural, serta bagaimana cara menjelaskan konsep-konsep kompleks yang terkait dengan pemahaman dan makna. Dengan demikian, hermeneutika modern membuka jalan bagi metode penafsiran yang lebih kritis dan mendalam, serta menggeser penafsiran konvensional yang sering kali mengabaikan maksud pengarang dalam memahami teks.
Hermeneutika al-Quran
Hermeneutika al-Quran mengacu pada upaya memahami dan menafsirkan teks al-Quran dengan menggunakan pendekatan hermeneutika, yang dikenal dalam filsafat dan teori interpretasi modern. Hermeneutika sendiri berasal dari kata Yunani "hermeneuein" yang berarti menafsirkan atau menerjemahkan, dan tradisi ini berkembang menjadi disiplin ilmu yang mempelajari proses penafsiran teks, terutama teks-teks yang memiliki nilai sakral dan/atau filosofis.
Hermeneutika al-Qur'an mencakup beberapa konsep dasar yang sangat penting dalam memahami dan menafsirkan teks al-Qur'an. Berikut adalah penjelasan mendalam tentang konsep-konsep tersebut:
1. Pluralitas Tafsir
Hermeneutika al-Qur'an menekankan bahwa berbagai penafsiran dapat muncul berdasarkan perbedaan konteks kehidupan. Tidak ada satu tafsir yang dapat dianggap mutlak benar untuk semua situasi dan zaman. Dengan demikian, pluralitas pemahaman diakui dan dihargai.
2. Kontekstualitas dan Progresifitas
Dua kesadaran utama dalam hermeneutika pascamodern adalah kontekstualitas dan progresifitas. Kontekstualitas menunjukkan bahwa pemahaman seseorang terhadap teks al-Qur'an sangat dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya, dan sejarahnya. Sementara progresifitas menekankan bahwa pemahaman terhadap al-Qur'an dapat berubah seiring dengan perubahan zaman dan perkembangan pemikiran manusia.
3. Dialog Antara Berbagai Penafsiran
Hermeneutika mendorong dialog antara berbagai penafsiran untuk mengakui pluralitas pemahaman dalam menginterpretasi teks suci. Setiap penafsiran mengandung reduksi atau penyederhanaan realitas, yang berarti penafsiran tersebut selalu terbatas oleh perspektif tertentu.
Perlu dijelaskan bahwa, sejarah hermeneutika dalam konteks al-Qur'an menunjukkan bahwa meskipun Islam telah mengenal metode interpretasi yang dikenal sebagai tafsir, istilah hermeneutika baru muncul dalam dekade terakhir seiring perkembangan intelektualisme Muslim modern. Praktik hermeneutika sudah dilakukan dalam Islam meskipun tidak secara eksplisit disebut demikian, seperti dalam kajian asbabun nuzul dan nasakh mansukh.
Para pemikir Muslim kontemporer seperti Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Hassan Hanafi, Mohammed Arkoun, dan Fazlur Rahman memainkan peran penting dalam mengembangkan hermeneutika modern dalam tafsir al-Qur'an. Fazlur Rahman, misalnya, dikenal dengan metode double movement, yang berupaya menggabungkan analisis teks dengan konteks sosial untuk menafsirkan al-Qur'an.
Hermeneutika al-Quran menawarkan pendekatan baru dalam memahami dan menafsirkan teks suci yang telah menjadi pedoman hidup umat Islam selama berabad-abad. Dalam konteks ini, terdapat tiga asumsi dasar yang krusial, yaitu bahwa penafsir adalah manusia yang terikat oleh konteks kehidupannya, bahwa penafsiran tidak dapat lepas dari bahasa, sejarah, dan tradisi, serta bahwa tidak ada teks yang berdiri sendiri.
Asumsi-asumsi ini mencerminkan kesadaran bahwa setiap individu yang berusaha memahami al-Qur'an membawa latar belakang unik yang mempengaruhi interpretasi mereka. Dengan mengakui keterbatasan ini, hermeneutika modern mendorong dialog dan refleksi mendalam tentang makna ayat-ayat al-Qur'an, serta relevansinya dalam konteks sosial, budaya, dan historis yang terus berubah. Dengan hermeneutika, studi al-Quran akan mengkaji dan mengembangkan pemahaman atas ketiga asumsi dasar tersebut, guna memberikan kontribusi terhadap kajian tafsir al-Qur'an yang lebih inklusif dan responsif terhadap dinamika zaman.
Secara lebih teknis, tiga asumsi dasar dalam hermeneutika al-Quran sebagai berikut:
1. Penafsir adalah Manusia
Penafsir terikat oleh ruang, waktu, dan pengalaman hidupnya. Oleh karena itu, setiap penafsiran dipengaruhi oleh latar belakang penafsir dan bisa bervariasi sesuai dengan konteks historis yang melingkupinya.
2. Penafsiran Tidak Lepas dari Bahasa, Sejarah, dan Tradisi
Aktivitas penafsiran terikat oleh bahasa dan tradisi yang berlaku pada zamannya. Umat Islam tidak bisa lepas dari pengaruh sejarah dan budaya ketika menafsirkan al-Qur'an. Penafsiran yang murni berdasarkan teks saja, tanpa mempertimbangkan konteks historis, hampir tidak mungkin dilakukan.
3. Tidak Ada Teks yang Berdiri Sendiri
Setiap teks, termasuk al-Qur'an, selalu terkait dengan konteks sosio-historis ketika wahyu tersebut diturunkan. Misalnya, pembedaan antara ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah menunjukkan adanya keterkaitan teks dengan situasi masyarakat saat wahyu diturunkan.
Dengan demikian, hermeneutika memberikan kerangka baru dalam memahami Al-Qur'an, yang lebih mengedepankan dialog antara teks dengan konteks realitas sosial-historisnya.
Signifikansi Hermeneutika dalam Studi Al-Qur'an
Khazanah Ulumul Qur'an, sebagai metodologi untuk menafsirkan dan memahami Al-Qur'an, memiliki tingkat sofistikasi yang luar biasa. Keberagaman karya tafsir, seperti tafsir tahlili dan maudhu'i, mencerminkan kemampuan Ulumul Qur'an dalam menjembatani jarak antara mufassir dan teks Al-Qur'an. Melalui beragam pendekatan ini, lahirlah khazanah tafsir yang bervariasi—mulai dari tafsir yang sekadar mencari sinonim hingga yang melakukan ta’wil secara mendalam dan ilmiah. Hal ini mungkin mendorong beberapa pihak untuk beranggapan bahwa Ulumul Qur'an sudah cukup sebagai pendekatan dalam penafsiran, sehingga tidak diperlukan metodologi baru seperti hermeneutika.
Namun, ketika kita menelaah asumsi dasar hermeneutika—yang mengedepankan perhatian pada teks dan konteks—kita menemukan bahwa beberapa elemen dalam Ulumul Qur'an klasik telah mengarah ke arah tersebut. Tema-tema seperti Makki-Madani, Asbabun Nuzul, dan Nasikh-mansukh menunjukkan kesadaran akan perbedaan konteks yang mempengaruhi makna. Ini menegaskan bahwa Ulumul Qur'an tetap relevan dalam memahami dimensi pemaknaan Al-Qur'an.
Berdasarkan tiga jenis asumsi hermeneutika di atas, Ulumul Qur'an telah memenuhi kriteria hermeneutika pertama, yakni menyadari pentingnya konteks sebagai cara untuk menggali makna teks. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Ulumul Qur'an berada di jalur yang benar. Namun, kesadaran terhadap konteks saja tidaklah cukup. Kesadaran ini hanya membawa kita kembali ke masa lalu, ke waktu di mana teks tersebut ditulis, tujuan penulisnya, serta bagaimana makna teks dipahami oleh audiens awal. Tanpa mempertimbangkan konteks kekinian, pemahaman yang dihasilkan hanya akan menjadi reproduksi makna lama. Meskipun dalam banyak hal pemaknaan ini masih relevan, sering kali hasilnya menjadi a-historis atau tidak tepat konteks.
Untuk mengatasi keterbatasan pemahaman yang hanya berfokus pada konteks, diperlukan penambahan variabel kontekstualisasi. Ini mencakup kesadaran akan kekinian serta logika dan kondisi yang berkembang. Pertanyaan yang muncul adalah, “Bagaimana teks yang berasal dari masa lalu dapat dipahami dan dimanfaatkan untuk masa kini?” Dalam konteks Al-Qur'an, kita bisa bertanya, “Bagaimana agar Al-Qur'an menjadi shalih li kulli zaman wa makan?”—atau bagaimana agar Al-Qur'an dapat diterapkan di segala ruang dan waktu, bukan hanya relevan pada saat teks tersebut pertama kali diturunkan.
Menariknya, banyak mufassir, termasuk para pembaharu seperti Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar, menunjukkan kesadaran akan konteks. Meskipun demikian, banyak tafsir yang sangat kontekstual pada masanya juga memiliki kelemahan dalam hal kesadaran historis. Tafsir-tafsir ini sering kali mengabaikan konteks, sehingga menghasilkan pemahaman yang cenderung bersifat filosofis murni dan menganggap teks sebagai entitas otonom. Akibatnya, kesadaran konteks hilang, yang dapat menyebabkan a-historisitas dalam pemahaman serta potensi keluar dari maksud dan spirit teks yang sebenarnya.
Jelas bahwa pendekatan teks-konteks-konteks tualisasi perlu diterapkan secara dialektis dan berkesinambungan. Dengan mendialogkan ketiga aspek ini, seorang mufassir dapat menangkap tujuan utama dan spirit teks, serta menerapkan pemahaman tersebut dalam realitas kontemporer. Ini menghindarkan pemaknaan yang terasing dari ruang dan waktu yang relevan. Salah satu kelemahan besar dalam kitab-kitab tafsir klasik adalah fokus berlebihan pada teks atau konteks semata, sehingga menghasilkan pemahaman yang dangkal atau hanya merumuskan aplikasi tanpa memahami misi awal Al-Qur'an.
Sumbangan paling berharga dari hermeneutika dalam studi Al-Qur'an adalah pemahaman tentang determinasi yang mempengaruhi proses pemahaman. Kesadaran ini membantu mengeliminasi anggapan bahwa setiap pemahaman dan penafsiran bersifat objektif dan bebas dari kepentingan. Setiap pemahaman terpengaruh oleh konteks dan kepentingan penafsir, sehingga tidak bijak untuk mengklaim kebenaran tunggal.
Hermeneutika mengajarkan bahwa setiap ide, pemikiran, dan penafsiran dipengaruhi oleh konteks, misi, serta kepentingan penafsir. Ini membentuk sikap inklusif dan toleran terhadap keragaman. Di tengah masyarakat beragama, terdapat kecenderungan untuk mengklaim kebenaran sebagai milik sendiri, yang dapat memicu konflik. Dalam penafsiran, hal ini tampak melalui sikap apriori yang menganggap penafsiran sendiri sebagai yang paling benar. Hermeneutika mengingatkan kita bahwa setiap pemahaman memiliki sisi kebenaran dan kelemahan.
Yang bisa kita lakukan adalah berkarya dan berperilaku sebaik mungkin sesuai dengan kebenaran yang diyakini, serta berkompetisi secara adil dan fair dengan yang lain dalam kebaikan. Hermeneutika menawarkan pendekatan kritis yang mendorong umat beragama untuk menghargai keragaman dan memahami bahwa setiap pandangan memiliki konteks yang mendasarinya.
Sampai di sini dapat dipahami bahwa, hermeneutika menawarkan perspektif yang sangat penting bagi pemahaman Al-Qur'an. Dengan memperhatikan interaksi antara teks, konteks, dan kontekstualisasi, kita dapat menggali makna yang lebih dalam dan relevan dari ajaran-ajaran suci tersebut.
Hermeneutika tidak hanya membantu kita memahami pesan-pesan yang terdapat dalam Al-Qur'an secara historis, tetapi juga menjembatani pemahaman tersebut dengan tantangan dan kebutuhan zaman kini. Dengan mengadopsi pendekatan yang inklusif dan kritis, kita diingatkan bahwa penafsiran adalah proses yang dinamis dan terus berkembang, yang tidak terlepas dari konteks sosial, budaya, dan intelektual.
Melalui hermeneutika, kita diajak untuk menjadi penstudi al-Quran yang peka terhadap realitas kontemporer, sehingga Al-Qur'an tetap bisa dipahami secara ideal dan kita bisa menerima petunjuk yang bermanfaat bagi umat manusia dalam menghadapi berbagai tantangan zaman, sepanjang masa.
Artikel ini sepenuhnya bersumber dari Fahruddin Faiz dan Ali Usman (2019). Hermeneutika al-Quran: Teori, Kritik, dan Implementasinya. Yogyakarta: Dialektika.
Baca juga: Menyingkap Makna Hikmah