Menggali Akar Ketertinggalan Dunia Muslim: Membaca Karya Ahmet T. Kuru




Dalam sejarahnya, dunia Muslim pernah menjadi mercusuar peradaban yang kaya akan ilmu pengetahuan dan inovasi. Di masa keemasannya, ilmuwan Muslim menghasilkan karya-karya monumental dalam bidang matematika, astronomi, kedokteran, dan sebagainya, berkontribusi secara signifikan terhadap pengembangan pengetahuan global. Namun, memasuki abad ke-16 sampai ke-19, dunia Islam mengalami stagnasi yang mencolok. Penurunan dalam prestasi ilmiah ini tidak hanya menunjukkan hilangnya daya saing di arena global, tetapi juga menandai pergeseran kekuatan, di mana negara-negara Barat mulai menguasai peta ilmu pengetahuan dan teknologi.

Keterbelakangan ini dapat dilihat dari meningkatnya ketergantungan negara-negara Muslim terhadap inovasi dan teknologi dari Barat. Sementara negara-negara Barat melaju dengan pesat dalam pengembangan teknologi dan ekonomi, banyak negara Muslim terjebak dalam siklus stagnasi.

Pun demikian, dunia muslim juga mengalami kesulitan dalam menciptakan lingkungan yang mendukung penelitian dan pengembangan secara kreatif. Akibatnya, ilmuwan dan intelektual Muslim yang sebelumnya berperan penting kini sering terpinggirkan, dan warisan intelektual yang kaya mulai memudar, mengakibatkan hilangnya kemampuan untuk bersaing di tingkat internasional.

Kondisi ini lebih diperparah oleh faktor-faktor politik yang menghambat kemajuan. Banyak negara Muslim terjebak dalam sistem pemerintahan otoriter yang tidak hanya mengekang kebebasan berpikir, tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sistem yang bersifat represif ini sering kali memunculkan aliansi antara pemimpin politik dan ulama, menciptakan suasana di mana inovasi dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas kekuasaan. Dalam banyak kasus, kritik terhadap kebijakan pemerintah atau gagasan baru seringkali ditindaklanjuti dengan penindasan, yang membuat inovasi dan kreativitas sulit berkembang.

Di sisi ekonomi, banyak negara Muslim mengalami kesulitan dalam diversifikasi sumber pendapatan mereka. Banyak yang terlalu bergantung pada sumber daya alam, terutama minyak dan gas, tanpa upaya yang signifikan untuk mengembangkan sektor-sektor lain yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi. Ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan dinamika pasar global membuat banyak negara Muslim tertinggal, tidak hanya dalam hal pertumbuhan ekonomi tetapi juga dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

Pertanyaannya adalah, apa akar masalah yang menyebabkan dunia Muslim mengalami ketertinggalan?

Membaca Karya Ahmet T Kuru, Authoritarianism, and Underdevelopment: A Global and Historical Comparison

Dalam karyanya yang berjudul Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment: A Global and Historical Comparison, Ahmet T. Kuru mengupas seluk-beluk interaksi antara Islam, kekuasaan politik, dan perkembangan sosial-ekonomi di dunia muslim. Kuru mengkritik anggapan umum yang menyatakan bahwa kemunduran yang dialami oleh banyak negara Muslim semata-mata disebabkan oleh faktor-faktor internal ajaran Islam atau dampak dari kolonialisme Barat. Ia menjelaskan bahwa, meskipun kolonialisme memiliki pengaruh yang signifikan, akar masalah ini jauh lebih dalam dan terkait erat dengan interaksi antara institusi keagamaan dan kekuasaan politik yang sudah berlangsung lama.

Ahmet T. Kuru mengemukakan bahwa meskipun kolonialisme dan imperialisme Barat telah mengakibatkan kehancuran lembaga-lembaga lokal dan eksploitasi sumber daya di banyak negara Muslim, terlalu terfokus pada dampak negatif dari intervensi tersebut telah mengalihkan perhatian umat Muslim dari kegagalan internal mereka. Pandangan ini mengisyaratkan perlunya reformasi mendalam dalam pemikiran, kebijakan, dan lembaga yang ada di dunia Muslim.

Sementara itu, ketegangan antara kalangan Islamis dan sekuler sering kali tidak membawa solusi yang konstruktif. Keduanya perlu berkolaborasi untuk mengatasi masalah anti-intelektualisme dan dominasi negara dalam ekonomi. Krisis yang dihadapi oleh umat Muslim saat ini, menurut Kuru, tidak sepenuhnya berasal dari ajaran Islam, melainkan dari interpretasi tertentu yang dianggap Islami, padahal tidak sama sekali.

Interpretasi tak Islami yang dimaksud seperti doktrin persekutuan ulama-negara. Kuru telah menunjukkan bahwa kolaborasi antara ulama dan negara, yang sering kali didasarkan pada gagasan kuno mengenai hubungan antara agama-negara, merupakan sumber dari banyak krisis yang melanda dunia Muslim saat ini. Oleh karena itu, umat Muslim sangat memerlukan perspektif baru dalam memahami politik dan pemerintahan. Kaum sekuler dan para reformis dari abad ke-19 telah menyadari hal ini, meskipun mereka belum mampu menciptakan teori-teori politik yang alternatif, yang dalam arti filosofis, dapat diterima secara publik.

Di sisi lain, tokoh-tokoh Islam masih mencari solusi dari teori-teori politik yang ditulis pada masa puncak dan akhir zaman pertengahan, yang mereka anggap sebagai prinsip-prinsip Islam yang abadi. Namun, Kuru menekankan bahwa pandangan historis ini dalam banyak keadaan tidak akurat; pemikiran politik Islam pada masa itu sangat dipengaruhi oleh kondisi politik dan tradisi pemerintahan yang ada.

Oleh karena itu, Kuru menyerukan adanya upaya kolektif untuk mengembangkan pemikiran baru yang lebih relevan dan adaptif terhadap tantangan masa kini, sehingga umat Muslim dapat bergerak maju dalam konteks global yang terus berkembang. Ini bukan sekadar pengembalian kepada tradisi yang hilang, melainkan penciptaan inovasi dalam pemikiran politik yang akan memfasilitasi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Muslim di seluruh dunia.

Kuru menelusuri sejarah yang lebih awal, di mana pada abad kesebelas, dunia Muslim menunjukkan semangat intelektual dan kemajuan ekonomi yang sebanding dengan Eropa Barat. Pada masa itu, kekuasaan politik dan ulama tidak selalu dalam aliansi yang erat. Namun, pergeseran terjadi ketika sistem iqta mulai mengakar, yang mengalihkan kekuasaan dari para pedagang dan ilmuwan independen ke tangan militer dan penguasa. Dalam sistem ini, penguasa militer berhak menguasai dan memanfaatkan sumber daya tanpa kontrol yang memadai. Hal ini, menurut Kuru, telah melemahkan daya saing ekonomi dan inovasi yang sebelumnya berkembang pesat dalam masyarakat Muslim.

Kuru menjelaskan bahwa penguatan otoritarianisme ini, yang sering kali mengandalkan legitimasi religius, mengekang proses pembaruan dan kemajuan. Ketika otoritas negara mulai berkolaborasi dengan ulama, muncul satu sistem di mana kekuasaan politik sering kali menghambat kebebasan akademik dan berusaha mempertahankan status quo. Kuru menyoroti bahwa hubungan ini ("persekutuan ulama-negara") bukanlah sebuah keharusan dalam pemikiran Islam, tetapi merupakan konstruksi historis yang terbentuk sebagai respons terhadap tantangan sosial dan politik di masa lalu.

Kuru telah menganalisis pandangan para pemikir seperti Mawardi, Ghazali, dan Ibnu Taimiyah, yang merupakan penulis paling berpengaruh mengenai teori kekhalifahan. Mawardi, misalnya, membayangkan sistem ideal di mana kekuasaan dipegang oleh seorang khalifah yang memiliki kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dan mendelegasikan wewenangnya kepada wazir, gubernur, dan hakim. Namun, gagasan ini tidak mudah diterapkan, bahkan pada abad ke-11. Lebih dari dua abad kemudian, Ibnu Taimiyah mengompromikan gagasan kekuasaan tunggal dengan mengusulkan pemerintahan bersama antara penguasa dan ulama.

Sayangnya, teori-teori kekhalifahan ini tidak membahas potensi bahaya dari kekuasaan pemimpin tunggal, mekanisme pertanggungjawabannya, atau kemungkinan adanya oposisi yang sah. Teori-teori yang otoriter dan patriarkis ini seharusnya dipandang sebagai catatan sejarah belaka, bukan sebagai acuan bagi pemikiran politik Muslim abad ke-21. Mempertahankan teori-teori tersebut akan menghalangi tokoh-tokoh Islam untuk memahami realitas masa kini

Ibnu Taimiyah, yang muncul kemudian, juga berusaha menjembatani jurang antara pemikiran Islam dan praktik politik, namun alih-alih memberikan pandangan progresif, malah mengajak mundur dengan mengusulkan suatu kerjasama antara penguasa dan ulama. Bahkan, ia tidak dapat menjawab dengan tuntas tantangan dari kekuasaan yang tidak terkontrol. Kuru menekankan bahwa teori-teori ini harus dipahami dalam konteks sejarah dan tidak bisa dianggap sebagai pedoman yang cocok untuk abad ke-21.

Kuru menawarkan pandangan yang optimis meskipun analisis historisnya seringkali pesimistis. Ia menunjukkan bahwa hubungan antara ulama dan negara bukanlah bagian yang tidak terpisahkan dari Islam itu sendiri, melainkan merupakan konstruksi yang dihasilkan dari sejarah dan kondisi sosial tertentu. Dalam konteks ini, umat Muslim memiliki tanggung jawab untuk merumuskan kembali hubungan antara agama dan negara.

Dengan menggali kembali sejarah Islam, Kuru menemukan bahwa pada periode awal, ulama sering kali tidak terikat pada kekuasaan negara dan malah didanai oleh perdagangan (borjuasi independen). Hal ini menciptakan lingkungan yang subur bagi inovasi intelektual dan kemajuan ekonomi. Dengan demikian, ada landasan sejarah untuk membangun kembali hubungan yang lebih konstruktif antara Islam dan negara.

Kuru menekankan bahwa untuk mengatasi tantangan besar yang dihadapi oleh dunia Muslim saat ini, dibutuhkan pendekatan yang lebih inklusif dan kreatif. Reformasi mendasar dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik harus dilakukan, termasuk dalam aspek ideologis dan kelembagaan. Umat Muslim perlu mengembangkan sistem yang tidak hanya menekankan kekuasaan negara tetapi juga memberikan ruang bagi kreativitas intelektual dan borjuasi yang independen.

Kuru mengajak umat Muslim untuk tidak terjebak dalam pandangan yang menilai sistem otoritarian sebagai bagian esensial dari Islam. Sebaliknya, umat Muslim harus mampu menghadapi tantangan zaman dengan cara yang lebih progresif dan mengedepankan demokrasi, meritokrasi, dan akuntabilitas dalam pemerintahan. Dengan cara ini, umat Muslim dapat menghindari pengulangan kesalahan masa lalu dan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan.

Untuk mengatasi ketertinggalan dunia muslim dan  mengejar tingkat perkembangan yang dicapai oleh negara-negara Barat, umat Muslim perlu membangun sistem yang kompetitif dan meritokratis. Ini bukan sekadar langkah kecil; melainkan memerlukan reformasi mendasar dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik, termasuk perubahan dalam ideologi dan struktur kelembagaan yang ada.

Pembangunan sistem yang kompetitif harus mencakup penguatan lembaga-lembaga pendidikan dan penelitian, di mana inovasi dan kreativitas dapat berkembang tanpa terhambat oleh kekuasaan otoritas yang otoriter. Ini berarti menyediakan ruang bagi pemikiran kritis, di mana ide-ide baru dapat diuji dan diterima atau ditolak berdasarkan argumen dan bukti, bukan berdasarkan status atau kekuasaan.

Sementara itu, kaum berjuasi independen juga harus diperhatikan. Bersama ilmuwan yang mandiri, mereka akan berfungsi sebagai jembatan antara masyarakat dan pemerintah, serta membantu mengimbangi kekuatan otoritas yang ada.

Menurut Kuru, dunia Muslim saat ini memerlukan kerjasama kaum intelektual yang kreatif dan borjuasi independen untuk mengimbangi kekuatan otoritas persekutuan ulama-negara (yang berdasarkan fakta sejarah telah menjadi salah satu penyebab ketertinggalan dunia muslim). Kuru menekankan bahwa keberadaan kaum intelektual yang berpikir kritis dan inovatif sangat penting untuk merumuskan solusi yang efektif dan progresif. Selain itu, kaum borjuasi independen juga secara faktual dapat berperan aktif dalam mendorong reformasi yang membawa kemajuan bagi dunia Muslim. Dengan kombinasi keduanya, masyarakat Muslim dapat menghadapi tantangan politik dan ekonomi yang terpengaruh oleh kontrol yang kuat dari pihak-pihak tertentu, serta menciptakan ruang bagi pemikiran yang lebih bebas dan kreatif.

Melalui kombinasi dari sistem yang kompetitif dan meritokratis, reformasi mendasar, dan dukungan kaum intelektual yang berdaya saing, serta borjuasi yang independen, dunia Muslim dapat membangun fondasi yang kuat untuk menghadapi tantangan modern dan mencapai kemajuan yang berkelanjutan, serta kembali menjadi mercesuar peradaban.

Sumber Gambar: Tangkapan Layar dari Akun Facebook Ahmet T Kuru

Baca Juga Prabowo Subianto dan Pesan Berani Melawan Apartheid

Lebih baru Lebih lama