Prabowo Subianto dan Pesan Berani Melawan Apartheid



Pada hari bersejarah 20 Oktober 2020, saat Prabowo Subianto dilantik sebagai Presiden Kedelapan Indonesia, satu kata yang menggetarkan dan mengejutkan dunia muncul dalam pidatonya: apartheid. Bukan sekadar mengungkit sejarah kelam Afrika Selatan, melainkan mencerminkan bayangan ketidakadilan yang masih menyelimuti dunia modern.

Mengapa seorang pemimpin Indonesia, di tengah gegap gempita pelantikan, justru menyoroti isu sistem pemisahan rasial? Apakah ini pertanda bahwa Indonesia benar-benar mengukuhkan posisinya dalam memperjuangkan isu-isu global? Pidato tersebut bukan hanya berisi janji politik, tetapi juga seruan perjuangan melawan diskriminasi, mengingatkan kita bahwa sejarah apartheid bukan sekadar kenangan, melainkan pelajaran berharga untuk masa depan bangsa. Namun, apa sebenarnya apartheid itu?

Prabowo Subianto, bersama Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden, resmi dilantik sebagai pemimpin Indonesia untuk periode 2024-2029, setelah mengucapkan sumpah di hadapan Sidang Paripurna MPR RI di Gedung Nusantara, Jakarta. Pidato perdana Prabowo sebagai Presiden ke-8 Republik Indonesia tak hanya memikat publik dengan janji dan komitmennya, tetapi juga menggugah hati dengan sorotannya terhadap isu-isu internasional, seperti dukungannya untuk kemerdekaan Palestina dan penolakannya yang tegas terhadap apartheid. Dalam kalimat penuh semangat, ia menegaskan, “Saya selalu mengajak saudara-saudara sebangsa dan setanah air untuk menjadi bangsa yang berani, bangsa yang tidak takut tantangan, bangsa yang tidak takut rintangan, bangsa yang tidak takut ancaman" (antaranews.com, 2024).

Pidato ini bukan sekadar kata-kata—ini adalah panggilan untuk ikut serta dalam membangun peradaban dunia yang damai. Lalu, mari kita telusuri lebih jauh, apa itu apartheid dan mengapa Prabowo menolak keras sistem ini. Tentang tekadnya mendukung kemerdekaan Palestina, Anda dapat membacanya lebih lanjut di "Pidato Perdana Prabowo sebagai Presiden: Kita Dukung Kemerdekaan Palestina".

Apa itu Apartheid?

Apartheid, sebuah kata dari bahasa Afrikaans; apart yang berarti 'memisah' dan heid berarti 'sistem atau hukum', adalah simbol dari kekejaman dan ketidakadilan yang terjadi di Afrika Selatan. Di bawah sistem ini, yang berlangsung (secara resmi) dari tahun 1948 hingga awal 1990-an, masyarakat dipisahkan secara ketat berdasarkan warna kulit mereka (Sahistory.org.za). Kulit putih di atas, sementara yang lainnya, terutama penduduk kulit hitam, dijauhkan dari hak-hak dasar mereka—terasing dari politik, pendidikan, pekerjaan, dan tempat tinggal yang layak. Hidup di bawah apartheid berarti hidup dalam dunia yang terbelah oleh garis ras, di mana sebagian manusia dianggap lebih rendah, hanya karena warna kulit mereka.

Gambaran ini bukanlah sesuatu yang asing bagi kita. Sistem apartheid ini memiliki kemiripan dengan struktur kelas sosial yang dulu diterapkan penjajah Belanda di tanah Indonesia. Pada masa kolonial, masyarakat kita juga dibagi-bagi, bukan berdasarkan kemampuan atau cita-cita, melainkan berdasarkan darah yang mengalir di tubuh dan warna kulit. Di puncak piramida, duduklah orang Eropa, kaum kulit putih yang memegang kendali atas segala sesuatu—pemerintahan, ekonomi, dan pendidikan (Kompas.com, 2023).

Di bawahnya, ada yang disebut Timur Asing, mereka yang berasal dari Tiongkok, India, atau Arab. Meski tidak sama derajatnya dengan orang Eropa, mereka masih memiliki lebih banyak hak dan peluang dibandingkan penduduk asli. Lalu, di lapisan terbawah, teronggoklah pribumi, orang asli Indonesia yang tak punya kuasa. Hidup mereka diatur oleh aturan yang bukan mereka buat, terpenjara di dalam tanah sendiri. Mereka bekerja keras, tapi hasilnya hanya sedikit yang bisa dinikmati, terjebak dalam kemiskinan dan keterbatasan.

Begitu pula dengan apartheid di Afrika Selatan; kulit putih menikmati segalanya, diikuti oleh Coloureds atau orang keturunan Asia dan campuran. Sementara penduduk asli Afrika (berkulit hitam), seperti Bantu, Xhosa, dan Zulu, dibiarkan di lapisan terbawah, dipisahkan dari kemakmuran dan keadilan.

Dua sistem ini—apartheid di Afrika Selatan dan struktur kolonial di Indonesia—adalah cerminan dari dunia yang dipecah oleh garis rasial dan ketidakadilan. Keduanya lahir dari pemikiran yang keliru bahwa satu kelompok lebih unggul dari yang lain. Namun, sejarah mengajarkan kita bahwa ketidakadilan seperti ini tidak bisa bertahan selamanya. Baik di Afrika Selatan maupun Indonesia, suara-suara perlawanan bangkit, menuntut persamaan, kebebasan, dan martabat bagi semua manusia tanpa memandang warna kulit.

Perlawanan Terhadap Apartheid

Sejak awal, banyak tokoh dan organisasi yang menentang apartheid, baik di dalam maupun di luar Afrika Selatan. Salah satu simbol terbesar dari perlawanan terhadap apartheid adalah Nelson Mandela, seorang aktivis yang dipenjara selama 27 tahun karena perjuangannya melawan rezim tersebut. Mandela adalah anggota African National Congress (ANC), sebuah organisasi yang berjuang untuk hak-hak sipil dan kesetaraan bagi warga kulit hitam. Setelah perjuangan panjang, apartheid akhirnya mulai runtuh pada awal 1990-an. Pada tahun 1994, Nelson Mandela terpilih sebagai presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan, menandai akhir resmi apartheid (nationalgeographic.com).

Namun, perjuangan melawan apartheid tidak hanya datang dari dalam Afrika Selatan. Di seluruh dunia, gerakan-gerakan internasional muncul untuk menekan pemerintah Afrika Selatan agar menghentikan kebijakan apartheid. Negara-negara lain, organisasi internasional, dan aktivis-aktivis hak asasi manusia menggunakan berbagai strategi, termasuk sanksi ekonomi dan diplomasi, untuk melawan apartheid. Indonesia juga memainkan peran penting dalam perlawanan ini.

Indonesia, bersama negara-negara Afrika dan Asia lainnya, mendukung gerakan anti-apartheid di tingkat internasional. Salah satu peran penting adalah pada Konferensi Asia-Afrika (Bandung Conference) pada tahun 1955, di mana salah satu agenda utamanya adalah mendukung kemerdekaan negara-negara yang dijajah serta menentang segala bentuk penindasan, termasuk apartheid.

Perlawanan terhadap apartheid mencerminkan semangat keadilan yang universal. Melalui perjuangan ini, dunia diajak untuk memahami pentingnya hak asasi manusia, kesetaraan ras, dan kebebasan individu. Pidato Prabowo yang menolak apartheid bukan hanya memperlihatkan solidaritas terhadap Afrika Selatan, tetapi juga komitmen Indonesia untuk melawan diskriminasi dalam segala bentuknya. Apartheid tidak boleh lagi ada di mana pun—baik dalam wujud diskriminasi rasial, agama, gender, atau bentuk ketidakadilan lainnya.

Meskipun kini, Indonesia tidak "mengalami apartheid secara langsung", perjuangan melawan diskriminasi masih relevan. Pesan dari perjuangan anti-apartheid adalah bahwa bangsa mana pun harus berani melawan ketidakadilan, apa pun bentuknya. Dengan mempertahankan prinsip keadilan sosial dan persatuan, Indonesia dapat terus mengukuhkan peran pentingnya dalam menciptakan dunia yang lebih adil dan damai.

Perjuangan melawan apartheid mengingatkan kita bahwa ketidakadilan tidak hanya menjadi masalah negara tertentu, tetapi juga tanggung jawab moral global yang harus diatasi oleh semua bangsa.

Sumber Gambar: Kompas.com

Baca juga: Selayang Pandang tentang Hermeneutika al-Quran

Lebih baru Lebih lama