Barangkali kita atau orang lain pernah bertanya, bukankah dalam Q.S. al-‘Ankabūt (29): 45 Allah Swt. berfirman:
وَاَقِمِ
الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ
ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ
Dan
tegakkanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan
mungkar. Dan mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya daripada
ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Lantas,
mengapa ada orang yang rutin melaksanakan shalat, tetapi masih rajin melakukan
perbuatan maksiat: keji dan mungkar? Perlu
kita tegaskan bahwa tidak ada sedikit pun keraguan dalam ayat tersebut. Bahkan,
ayat itu sudah menjelaskan paradoks yang sering kita temui: orang yang rutin shalat, tapi masih rajin
bermaksiat.
Pada bagian akhir ayat tersebut, Allah Swt.
menegaskan “وَاللّٰهُ
يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ” (Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan). Dalam Tafsīr al-Munīr, Syaikh
Wahbah al-Zuhailī menjelaskan bahwa kita harus senantiasa merasa diawasi oleh
Allah, baik dalam hal yang kita tampakkan maupun yang tersembunyi dalam diri
kita. Maksudnya, shalat yang kita kerjakan mungkin secara kasat mata sudah
mengikuti rukun dan syarat yang diajarkan dalam fikih. Namun, bagaimana dengan
kondisi hati (aḥwāl) kita ketika shalat?
Apakah shalat itu sudah menjadi “وَلَذِكْرُ اللّٰهِ
اَكْبَر” (Sungguh, mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya
daripada ibadah yang lain)? Apakah memang shalat sebagai (dizkrullah) mengingat Allah itu sudah
kita bereskan dengan menghadirkan hati dan mengosongkan jiwa dari segala
sesuatu kecuali Allah? Padahal, sebagaimana menurut Ibnu Katsīr, inti dari
shalat adalah zikir kepada Allah, yang merupakan “rukun terbesar”.
Jadi, intinya bukan ayat tersebut yang bermasalah,
tetapi shalat kita yang belum sempurna. Mungkin, kita sudah menyempurnakan
syarat dan rukun yang terlihat oleh manusia, tapi ada sesuatu yang tak terlihat—yaitu kondisi hati
kita—yang hanya diketahui oleh Allah.
Dari sini kita memahami bahwa jika seseorang
mendirikan shalat dengan sempurna, maka tentu shalat itu akan menjaga dirinya
dari perbuatan keji dan mungkar. Namun, Allah sengaja meletakkan di akhir ayat:
“Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan”, sebagai pengingat bahwa tidak semua orang mengerjakan shalat
dengan optimal.
Hanya Allah yang tahu bagaimana kondisi hati ketika
kita shalat. Ini adalah sebuah sindiran bahwa tidak semua shalat yang dilakukan
oleh seseorang mampu mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar. Mengapa?
Karena shalatnya tidak dilakukan dengan optimal. Kalau seseorang mengerjakan
shalatnya dengan sempurna, tentu firman Allah ini akan terwujud: “اِنَّ
الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ” (Sesungguhnya
shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar). Jadi, makna “وَاَقِمِ
الصَّلٰوةَ” (tegakkanlah
Shalat)”, bukan sekadar pekerjaan
tubuh dan gerakan lisan, tetapi shalat yang disempurnakan bersama dengan
kondisi hati (aḥwāl).
Dalam Kitāb Maqāṣid al-‘Ibādah, Syaikh Izzuddīn bin ‘Abdus-Salām menjelaskan bahwa tujuan terbesar
shalat adalah memperbarui perjanjian dengan Allah. Shalat mencakup beberapa
perbuatan hati, lisan, dan anggota tubuh, baik yang wajib maupun sunnah, yang
tidak terdapat pada ibadah lain selain shalat. Dengan demikian, sekali lagi, shalat yang dimaksud dalam
Q.S. al-Ankabut (29) ayat 45 di atas, bukan sekadar pekerjaan tubuh dan gerakan
lisan, tetapi shalat yang disempurnakan bersama dengan kondisi hati (aḥwāl).
Selain syarat dan rukun yang telah kita pelajari
dalam kitab-kitab fikih, ada langkah praktis yang dapat kita latih agar shalat
bisa menjadi pelindung dari perbuatan maksiat. Latihan ini penulis kutip dari Kitāb
Maqāṣid
al-‘Ibādah karya Syaikh Izzuddīn bin
‘Abdus-Salām, yang intinya, kita harus memaknai setiap aktivitas shalat yang
kita kerjakan.
Pertama, Rukun Qalbī
(Aktivitas Hati)
Setiap orang yang hendak shalat wajib memasang niat
yang ikhlas, murni, dan semata-mata karena keimanan. Dengan memasang niat,
bukan berarti kita sudah memaknakan shalat sepenuhnya. Niat harus jernih, hanya
untuk Allah Swt., berdiri di atas tauhid yang benar, serta dilandasi dengan inābah (memperbarui hubungan dengan
Allah) dan taqrīr (pengakuan) atas
kekuasaan-Nya.
Kedua, Rukun Fi’lī
(Aktivitas Anggota Tubuh)
Ketika melaksanakan rukun
yang berkaitan dengan gerak anggota tubuh (fi’li),
kita harusnya menghadirkan mahābah—bukan
sekadar cinta (mahabbah), tetapi rasa
takjub sekaligus takut dan penuh penghormatan kepada Allah Swt. Saat berdiri,
rukuk, atau sujud, kita harus merasakan kerendahan hati atau tadzallul
(menghinakan diri), sebagai bentuk ketundukan total kepada Allah.
Ketiga, Rukun Qaulī
(Aktivitas Lisan)
Sama
seperti dua rukun sebelumnya, saat melaksanakan aktivitas lisan kita juga harus
memaknainya. Misalnya, ketika membaca Subḥāna Rabbiyal-A'lā saat sujud, hendaklah kita merenungkan makna rubūbiyyah dan ubūdiyyah—tentang
keagungan dan keluhuran Allah. Contoh lain, ketika membaca iyyāka na'budu
(hanya kepada-Mu kami menyembah), kita harus menjiwai makna ibadah yang
merupakan ketaatan puncak dalam ketundukan kepada Allah. Demikian juga dengan iyyāka
nasta'īn (hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan), kita harus menjiwai
sepenuhnya bahwa hanya kepada Allah kita memohon pertolongan, tidak kepada yang
lain.
Contoh di atas hanyalah sebagian kecil dari
keseluruhan aktivitas shalat. Semua aktivitas shalat, baik yang termasuk rukun,
syarat, maupun sunnah, harus kita maknai dengan sungguh-sungguh. Inilah cara
yang ditawarkan oleh para ulama, seperti Syaikh Izzuddīn bin ‘Abdus-Salām, agar
shalat kita bisa menjadi pelindung dari maksiat. Sebagaimana beliau menyatakan,
فهذه الصلاة التي
وصفها الله تعالى (تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ) فإن ملاحظة هذه
المعاني توجب في قلب المصلي إجالالا وتعظيما، يمنعاه من الفحشاء، ويحجزانه عن
المنكر
Inilah
shalat yang digambarkan oleh Allah Swt. sebagai (mencegah perbuatan keji dan
mungkar sebagaimana dalam Q.S. al-‘Ankabūt: 45). Menyelami makna-makna tersebut
akan melahirkan penghormatan dan pengagungan dalam hati orang yang shalat,
sehingga menghalanginya dari perbuatan keji dan mungkar.
Sampai di sini, dapat kita pahami bahwa, shalat yang ditegakkan secara rutin belum tentu mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar jika tidak dilakukan dengan optimal. Makna mendalam dari shalat terletak bukan hanya pada pelaksanaan rukun dan syarat secara fisik, tetapi juga pada pemaknaan hati dan kesadaran penuh akan kehadiran Allah. Shalat yang sempurna adalah shalat yang dilakukan dengan keikhlasan niat, kekhusyukan hati, serta keselarasan antara gerakan tubuh dan zikir lisan. Ketika ketiga komponen ini hadir secara menyeluruh dalam shalat, maka janji Allah bahwa "shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar" akan terwujud dalam kehidupan seorang hamba.
Sumber gambar: pixabay.com
Baca Juga: Selayang Pandang tentang Hermeneutika al-Quran