Membebaskan Diri dari Ke-Aku-an; Jangan Bergantung dengan Amal



Salah satu cara setan menyesatkan manusia adalah membisikkan ke-aku-an ke dalam hati, mengajarkan manusia untuk merasa bahwa segalanya bergantung pada dirinya. Memang, manusia dan keakuannya menjadi dua hal yang begitu sulit dipisahkan.

Keakuan seringkali menyusup ke dalam diri manusia, membisikkan bahwa segala hal tergantung pada diri ini, pada apa yang kita kerjakan, pikirkan, atau upayakan. “Jika aku lakukan ini, akan begini; jika aku lakukan itu, hasilnya tentu begitu.”

Pelan namun pasti, bisikan keakuan ini membangun satu keyakinan keliru bahwa kita mampu menuntun jalan hidup kita tanpa perlu bergantung pada kuasa yang lebih besar, tanpa perlu berlutut dan berserah. Dan lebih dari itu, bisikan ini menggiring kita pada pemikiran yang amat berbahaya: bahwa kita mampu memengaruhi kehendak Allah yang Mahakuasa.

Kita mungkin pernah mendengar ucapan, “Allah mengasihiku karena kebaikanku” atau “Allah murka karena dosaku.” Tidak jarang, di balik keangkuhan yang tersembunyi, kita berbisik dalam hati: “Aku (amalku) adalah penyebab kasih-Nya, dan aku (amalku) adalah penyebab kemurkaan-Nya.” Bisikan ini sungguh menyesatkan dan berbahaya; ia memosisikan diri kita seakan-akan mampu “mempengaruhi” kehendak Sang Pencipta.

Ada yang beranggapan bahwa kebaikan mereka mendatangkan kasih sayang Allah, seakan-akan Allah hanya mencintai mereka saat mereka berbuat baik. Di sisi lain, ketika mereka jatuh dalam kesalahan, mereka merasa terputus dari rahmat-Nya, putus asa dari kasih yang sejatinya tak bertepi. Padahal, mustahil Allah berubah-ubah dalam menyayangi atau murka terhadap hamba karena sifat-sifat-Nya kekal, tidak dipengaruhi oleh amalan kita. Keyakinan ini tidak hanya salah, tetapi juga fatal dan menyesatkan; Allah adalah Dzat Yang Maha Kekal, mustahil berubah-berubah sebagaimana kebaharuan makhluk.

Baca Juga: Gubahan Resah; Selalu ada Jalan

Membebaskan Diri dari Ke-Aku-an

Allah adalah Dzat yang tak terpengaruh dengan perbuatan atau amal manusia. Kasih sayang-Nya adalah sifat yang abadi; demikian juga murka-Nya, yang tak dibatasi oleh situasi makhluk. Pertanyaan muncul, lalu bagaimana dengan janji Allah yang terkesan berkaitan erat dengan perbuatan kita, seperti dalam firman-Nya di Q.S. al-Baqarah ayat 222, "Sungguh, Allah menyukai orang yang bertobat dan menyucikan diri"? Sekilas, ayat ini seperti menunjukkan bahwa kasih Allah datang dan pergi mengikuti taubat seorang hamba. Namun, sungguh tidak demikian.

Begitu pula dengan firman-Nya di Q.S. al-Ghafir ayat 60, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu." Apakah berarti sebelumnya Allah tak akan memberi, tetapi berubah karena doa kita? Bukan begitu. Ayat ini mengajarkan kita tentang kasih Allah yang telah ditakdirkan untuk setiap hamba dan dirancang Allah agar kita berada dalam proses kronologis yang tertib, bukan sebab akibat.

Perumpamaannya seperti hujan yang turun dari langit. Ketika awan gelap menggantung, kita berpikir bahwa mendunglah yang menjadi sebab turunnya hujan. Padahal, Allah telah mentakdirkan hujan itu turun bersama awan mendung secara kronologis, bukan sebab-akibat. Kedua hal ini terjadi dalam urutan yang Allah rancang tanpa perlu bergantung satu sama lain; awan dan hujan adalah bagian dari skenario indah yang telah ditetapkan. Allah menakdirkan turunnya hujan, lalu secara kronologis (bukan sebab) Allah takdirkan pula awan mendung mengikuti proses turun hujan tersebut—bukan berarti awan mendung menjadi sebab turunnya hujan, kita sangat tahu mendung tak selalu berarti hujan

Namun, kita kerap kali keliru memaknai kehendak Allah. Dalam Q.S. Al-Ghafir ayat 60, Allah berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.” Ayat ini sering kali dianggap sebagai tanda bahwa kita dapat memengaruhi keputusan Allah dengan doa-doa kita. Padahal, makna sebenarnya adalah bahwa Allah senantiasa mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya, dan Dia mengatur doa-doa kita sebagai bagian dari kehendak-Nya yang agung. Dengan kata lain, ketika Allah telah mentakdirkan rahmat-nya akan diturunkan, lalu secara kronologis Allah takdirkan kita untuk berdoa menjemput rahmat itu; bukanlah doa kita yang mengundang rahmat, ia hanya menjemput rahmat yang sudah ditentukan atau ditakdirkan untuk kita.

Seperti hujan yang turun bukan karena mendung semata, tapi karena Allah mentakdirkan turunnya hujan yang diiringi mendung. Hujan dan awan bukan sebab-akibat, melainkan rangkaian kejadian yang terjadi sesuai ketetapan Allah. Hujan turun dalam siklus yang sempurna: air menguap, mengembun, lalu turun sebagai hujan. Bukan awan yang mendatangkan hujan, melainkan Allah yang menentukan air itu jatuh. Begitulah juga doa dan amal baik kita—sekadar peristiwa yang terjadi sesuai urutan takdir, bukan sebab yang mengubah kehendak Allah. Takdir hujan turun diikuti dengan takdir awan menjadi mendung; takdir Rahmat Allah yang diberikan kepada kita diikuti oleh takdir kita untuk berdoa atau beramal baik.



Jangan Bergantung dengan Amal

Setiap tetesan rahmat yang kita terima, setiap nikmat yang datang, adalah kasih Allah yang tak tergoyahkan. Kasih sayang yang diberikan Allah bahkan tak bergantung pada siapa yang menerimanya; apakah kita baik atau buruk, kasih itu tetap ada. Allah tak memerlukan perubahan dalam sifat atau kehendak-Nya untuk mengasihi hamba-hamba-Nya. Justru, kita yang harus menyadari bahwa kasih-Nya adalah anugerah yang harus kita sambut dengan syukur, bukan seolah-olah hasil dari amal kita.

Baca Juga: Belajar Melihat Setan Melalui Cermin

Bagaimana mungkin kita sebagai makhluk, dengan segala keterbatasan, merasa memiliki kendali atas kehendak-Nya? Jika kita renungkan, dalam dunia ini sebagaimana hujan turun sebagai bagian dari proses yang Allah tetapkan. Awalnya, uap naik dari permukaan laut, sungai, danau, kemudian mengembun menjadi awan, hingga akhirnya turun menjadi hujan. Hujan ini bukan hasil mendungnya awan, tetapi Allah-lah yang mengatur semuanya dalam proses yang serasi. Begitu pula doa-doa dan amal baik kita hanyalah bagian dari proses yang Allah tentukan.

Allah memberikan hidayah, petunjuk, kepada siapa yang dikehendaki-Nya (Q.S. al-Kahfi ayat 17). Sebaliknya, ketika Allah menentukan kemurkaan, kehendak-Nya tak tergantung pada kekelaman amal seseorang, tetapi, kelamnya amal itu hanya menjadi rangkaian takdir yang telah Allah tetapkan. Kita, dengan segala kelemahan kita, tak mungkin mampu merubah ketetapan-Nya. Rahmat dan kemurkaan Allah sama sekali tak terpengaruh oleh amal kita; Dia memberi dan menarik rahmat-Nya tanpa sedikit pun ketergantungan pada makhluk.

Namun, apakah berarti amal atau doa kita tak bermakna? Amal dan doa adalah bagian penghambaan kita; kita harus pahami, bahwa jangan sampai amal dan doa itu malah membuat kita jatuh dalam keakuan yang menyesatkan. Amal dan doa adalah wujud penghambaan, bukan pengaruh yang mengubah kehendak-Nya. Dalam Hikam Ibnu Atha’illah as-Sakandari disebutkan bahwa salah satu tanda orang yang mengandalkan amal adalah ketika ia kehilangan harapan saat melakukan dosa. “Di antara tanda mengandalkan amal adalah berkurangnya harapan kepada Allah tatkala terjadi kekhilafan.” Jangan sampai amal kita menjadi beban yang membuat kita berpikir bahwa kita ini mampu mengubah takdir.

Inilah yang kita perlukan, pengakuan bahwa amal kita hanyalah bagian takdir Allah Swt. untuk menguatkan ketundukan kepada-Nya, bukan alat untuk memengaruhi keputusan-Nya. Kita ini begitu terbatas; bagaimana mungkin kita menganggap diri ini mampu menentukan kasih atau murka-Nya? Segala yang ada pada kita adalah milik Allah. Kita hanya bisa berharap agar hati ini didekatkan kepada-Nya, agar tak tergoda untuk berpegang pada amal, melainkan bersandar sepenuhnya pada rahmat-Nya yang luas.

Maka, biarkanlah harapan dan ketakutan pada Allah selalu hidup, tanpa terpengaruh oleh seberapa besar amal atau dosa yang kita perbuat. Segala ketentuan Allah adalah kasih sayang-Nya yang sejati, yang diberikan tanpa syarat kepada siapa pun yang Dia kehendaki. Jauhkanlah hati kita dari keakuan, dari pemikiran bahwa amal kita menentukan cinta atau murka Allah. Jadilah hamba yang benar-benar berserah, yang yakin bahwa segala ketetapan-Nya adalah yang terbaik untuk kita.

Allah adalah Dzat yang Maha Kekal, Maha Adil, dan Maha Penyayang. Kasih sayang-Nya tak memerlukan syarat, dan kemurkaan-Nya pun bukanlah sesuatu yang bergantung pada dosa kita. Dia adalah Dzat yang mengetahui segala-galanya, yang menentukan segala yang terjadi pada diri kita tanpa sedikit pun membutuhkan amal kita sebagai pertimbangan. Biarkan hati ini tunduk dengan penuh harap dan takut kepada-Nya, yakin bahwa segala keputusan-Nya adalah yang paling baik.

Bila kita telah sampai pada titik ini, maka amal kita akan berubah menjadi wujud syukur, bukan sandaran yang menipu. Berharap pada Allah bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti ketundukan yang sejati. Menyerah kepada takdir-Nya bukanlah tanda putus asa, tetapi justru puncak keyakinan bahwa Allah adalah sebaik-baik tempat untuk bersandar.

Ya Allah, jauhkanlah kami dari keakuan yang menyesatkan. Berilah kami hidayah taufiq untuk memahami bahwa amal kami hanya sebagai takdir dari-Mu, sebagai wujud penghambaan, bukan untuk menggantungkan harapan pada selain Engkau, termasuk diri kami sendiri. Tetapkanlah kami dalam rahmat-Mu yang tak bertepi, dan lindungilah hati kami dari anggapan bahwa kami mampu memengaruhi kehendak-Mu yang sempurna. 

 

Promo Buku Terbaik dan Original, Diskon 15 Persen sampai Akhir Tahun: 

Ambil langkah pertama menuju pemahaman yang lebih dalam tentang metodologi penelitian hukum Islam. Dapatkan buku ini sekarang dan bawa penelitian Anda ke tingkat yang lebih tinggi! Beli Di Sini.

Lebih baru Lebih lama