Pulang itu (Seharusnya) Gembira



JIKA ada satu momen yang paling dinantikan dalam hidup seorang perantau, itu adalah saat pulang. Bukankah mudik itu menyenangkan? Stasiun-stasiun yang ramai oleh derap langkah penuh haru; terminal-terminal yang dipenuhi tawa dan pelukan; jalan-jalan yang mengalir seperti sungai manusia yang rindu. Kita rela berdesakan, menempuh perjalanan berjam-jam, bahkan berhari-hari, hanya untuk satu hal: pulang.

Ada gelombang kegembiraan yang tak bisa dibendung. Orang-orang bersiap: membeli tiket, mengatur jadwal cuti, menabung jauh-jauh hari, bahkan rela menempuh perjalanan berjam-jam. Mengapa? Karena ingin pulang.

Fenomena “pulang” ini juga dapat dipahami melalui psikologi topofilia—istilah yang pertama kali dikenalkan oleh ahli geografi, Yi-Fu Tuan. Topofilia menggambarkan hubungan emosional dan afektif yang sangat mendalam antara manusia dan tempat-tempat tertentu.

Tuan menjelaskan bahwa manusia tidak hanya memandang tempat sebagai sebatas ruang fisik, tetapi sebagai bagian integral dari identitas, kenangan, dan perasaan mereka. Rumah dan kampung halaman dapat membangkitkan perasaan cinta dan keterikatan yang kuat, suatu keterikatan yang mempengaruhi keputusan kita untuk kembali.

Pulang, dalam konteks ini, adalah manifestasi dari topofilia, di mana tempat yang kita sebut rumah menjadi bagian dari diri kita, yang tak bisa dipisahkan. Bahkan, dalam perjalanan panjang dan penuh perjuangan, ada dorongan kuat dalam diri untuk kembali ke tempat asal kita.

Namun, ada juga sebagian orang yang merasa ragu untuk pulang. Mereka khawatir. Mengapa? Karena pulang tidak hanya berarti kembali ke tempat asal. Pulang sering kali menjadi saat untuk melakukan refleksi diri—apa yang telah kita capai, apa yang telah kita buat sejak terakhir kali kita pergi.

Di banyak tempat, apalagi saat Lebaran tiba, pulang kampung bisa terasa seperti ajang kompetisi diam-diam. Orang-orang saling menilai, memban-dingkan pencapaian satu sama lain. Kadang, ada rasa malu yang menghinggap jika kita merasa belum mencapai apa-apa. Kita membandingkan materi, jabatan, status sosial. Semua itu menjadi ukuran yang sering kali membuat kita tertekan.

Mari kita renungkan sebentar. Jika pulang ke dunia saja bisa membuat kita cemas karena merasa belum berhasil, bagaimana dengan pulang ke akhirat? Di sana, tidak ada harta yang akan kita bawa; tidak ada jabatan atau gelar yang bisa kita banggakan. Ukuran keberhasilan di sana adalah hanya iman dan amal saleh.

Sesungguhnya, pulang ke akhirat adalah kepastian yang tak dapat kita hindari. Karena itu, pertanyaannya bukanlah apakah kita akan pulang—karena itu adalah keniscayaan. Pertanyaannya adalah, apakah kita siap? Apakah kita sudah merasa-kan kegembiraan dalam hati untuk kembali kepada Sang Pencipta? Bukankah pulang itu seharusnya menyenangkan?

Allah Swt. berfirman dalam Al-Quran:

ÙˆَÙ„َÙ„ْاٰØ®ِرَØ©ُ Ø®َÙŠْرٌ Ù„َّÙƒَ Ù…ِÙ†َ الْاُÙˆْÙ„ٰÙ‰ۗ

“Dan sungguh, akhirat itu lebih baik bagimu daripada dunia.” (QS. Ad-Duha: 4)

Ayat ini mengingatkan kita bahwa dunia mem-beri kesempatan, namun tidak menawarkan keaba-dian. Karena itu, pulang ke akhirat adalah sesuatu yang patut disambut dengan gembira—bila memang kita telah bersiap untuknya. Ruh yang sadar akan tempat asalnya, akan tenang saat diajak kembali. Ia tahu bahwa di sanalah letak hakikat kedamaian, tempat asalnya.

Jika kita ingin pulang dengan gembira, kita perlu membangun kesadaran spiritual. Ruh tidak akan kuat hanya dengan harapan atau teori. Sama seperti tubuh yang perlu dilatih untuk sehat, ruh juga perlu dilatih agar kokoh. Ruh yang terlatih akan lebih tenang. Ia tidak takut akan hari kepulangan. Ia justru siap dan berharap. Kata kuncinya, latih ruh agar ingat tempat asalnya.

Proses untuk mencapai keadaan ruhani yang tenang dan siap untuk pulang itu membutuhkan latihan yang terus-menerus. Sama seperti tubuh yang membutuhkan olahraga agar tetap bugar, ruh kita pun perlu dilatih agar tetap sehat dan siap menghadapi kehidupan akhirat. 

Latihan ruhani ini bisa kita lakukan melalui berbagai cara. Tapi, kalau boleh disimpulkan: Seiring bertambahnya umur, seharusnya kita semakin bertambah amal. Dengan latihan ini, bisa menja-dikan kita lebih siap untuk menyambut kepulangan yang penuh kebahagiaan itu.

Jika kita melatih ruh untuk mengingat tempat asalnya, maka kepulangan ke akhirat bukanlah sesuatu yang menakutkan. Sebaliknya, ia akan menjadi sebuah pertemuan yang dirindukan, sebu-ah perjumpaan dengan Sang Pencipta yang penuh cinta.

Rasulullah bersabda:

Ù…َÙ†ْ Ø£َØ­َبَّ Ù„ِÙ‚َاءَ اللَّÙ‡ِ Ø£َØ­َبَّ اللَّÙ‡ُ Ù„ِÙ‚َاءَÙ‡ُ

Siapa yang mencintai perjumpaan dengan Allah, maka Allah pun mencintai perjumpaan dengannya (HR. Bukhari).

Sabda ini mengingatkan kita bahwa perjumpaan dengan Allah di akhirat seharusnya menjadi momen yang kita rindukan, bukan ditakuti. Dalam kehidupan dunia, kita merasakan kebahagiaan dan kegembiraan saat pulang ke rumah, ke tempat yang penuh kehangatan dan kenyamanan. Begitu juga seharus-nya kita merasakan kegembiraan yang sama ketika memikirkan kepulangan kita ke akhirat. Bukankah dunia ini tempat kita merantau? Bukankah seharus-nya pulang ke akhirat itu menggembirakan?


Baca Juga: Siapa Imam Salat Subuhmu Tadi? 

Lebih baru Lebih lama