Teori-Teori Kebenaran dalam Lintasan Filsafat


Ringkasan
Tulisan ini mengulas lima teori utama dalam filsafat yang digunakan untuk menguji dan mengukur kebenaran: teori korespondensi, koherensi, pragmatis, performatif, dan konsensus. Masing-masing teori menawarkan perspektif yang unik terhadap konsep kebenaran, mulai dari kesesuaian pernyataan dengan realitas objektif (korespondensi), konsistensi internal dalam sistem pengetahuan (koherensi), hingga kebermanfaatan praktis (pragmatis). Selain itu, teori performatif menekankan kekuatan ujaran dalam konteks sosial; sementara teori konsensus menyoroti pentingnya kesepakatan rasional dalam komunitas sebagai dasar validitas pengetahuan.



Pendahuluan

Sesungguhnya, perbincangan tentang kebenaran dalam filsafat merupakan diskursus yang terus bergulir dan (seolah) belum menemukan titik final. Tema ini berangkat dari kerinduan manusia akan kepastian epistemologis serta kebutuhan untuk memahami realitas secara objektif dan rasional. Dalam sejarah pemikiran filsafat, kebenaran senantiasa menjadi objek telaah kritis, sebab ia menyangkut dasar validitas dan verifikasi dari setiap klaim pengetahuan yang diajukan.

Permasalahan mengenai kebenaran kemudian memunculkan berbagai pertanyaan filosofis yang mendasar: Apakah kebenaran harus diverifikasi melalui pengalaman indrawi? Ataukah ia hanya dapat dicapai melalui proses penalaran logis? Apakah kebenaran dapat ditentukan oleh kegunaannya secara praktis? Atau justru ia bergantung pada situasi yang tepat dan otoritas sosial? Atau malah kesepakatan kolektif dalam konteks tertentu?

Berikut ini beberapa teori yang kerap dibincangkan dalam ranah filsafat untuk menguji dan mengukur kebenaran. 

Teori Korespondensi

Secara sederhana, teori korespondensi menyatakan bahwa suatu pernyataan adalah benar apabila ia sesuai dengan kenyataan yang ada. Aristoteles misalnya, menanamkan dasar bahwa pengetahuan adalah penggambaran realitas, dan kebenaran terjadi ketika pernyataan kita mencerminkan fakta sebagaimana adanya.

Bayangkan ada seseorang yang mengklaim bawah, “air akan menguap jika dipanaskan hingga 100°C.” Teori ini menuntut verifikasi langsung: apakah benar air menguap pada suhu tersebut? Jika iya, maka pernyataan itu benar. Jika tidak, maka ia salah. Inilah bentuk kebenaran yang dekat dengan sains, dengan pengamatan, dan dengan apa yang bisa dijangkau oleh pancaindra manusia.

Oleh karena itu, banyak pengetahuan yang lahir dari teori ini menjelma menjadi aksioma—kebenaran yang tidak lagi dipertanyakan karena sudah berakar dalam pengalaman kolektif manusia, seperti keyakinan bahwa matahari terbit dari timur.

Contoh lain dari teori korespondensi adalah pernyataan bahwa Cristiano Ronaldo adalah pemain sepak bola bintang dunia. Untuk menguji kebenaran dari pernyataan ini, kita harus mencocokkannya dengan fakta-fakta yang dapat diamati dalam realitas. Misalnya, Cristiano Ronaldo telah bermain untuk klub-klub besar dunia seperti Manchester United, Real Madrid, dan Juventus, serta memenangkan berbagai penghargaan individu seperti Ballon d'Or. Ia juga dikenal secara luas dan diidolakan oleh masyarakat dari berbagai negara. Jika semua fakta ini sesuai dengan pernyataan tersebut, maka berdasarkan teori korespondensi, pernyataan itu dapat dianggap benar karena berkorespondensi dengan realitas objektif. Kebenaran dalam hal ini tidak ditentukan oleh perasaan pribadi atau logika semata, tetapi oleh kecocokannya dengan fakta-fakta yang ada di dunia nyata.

Namun, meskipun tampak sederhana dan pasti, teori ini terbatas pada kenyataan-kenyataan fisik. Ia gamang menghadapi wilayah metafisika atau pengalaman batin yang tidak kasatmata.

Teori Koherensi

Jika teori korespondensi mengandalkan kenyataan, maka teori koherensi berpijak pada konsistensi. Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar apabila ia tidak bertentangan dengan sistem pernyataan atau postulat lain yang telah lebih dulu diakui kebenarannya.

Dalam matematika, misalnya, terdapat postulat bahwa jumlah sudut dalam semua segitiga adalah 180°. Maka, jika ada yang menyatakan bahwa segitiga tertentu memiliki sudut total 210°, kita tak perlu menyaksikan segitiga itu untuk menyatakan pernyataan tersebut salah. Ia sudah bertentangan dengan sistem yang mapan, dan karenanya gugur sebagai kebenaran.

Teori ini menekankan rasionalitas dan struktur berpikir. Ia adalah tempat bernaung bagi logika, sistem filsafat, dan seluruh bangunan teoritis yang saling menopang.

Namun dalam kebesarannya itu pula tersembunyi kekurangan. Teori ini bisa saja menyimpan kekeliruan sistemik jika fondasi yang dibangun sebelumnya ternyata keliru. 

Baca Juga: Pulang itu (Seharusnya) Gembira


Teori Pragmatis

Berbeda dengan dua teori sebelumnya, teori pragmatis mengalihkan fokus kebenaran dari ‘apa yang nyata’ dan ‘apa yang logis’ ke ‘apa yang bermanfaat’. Kebenaran, menurut teori ini, adalah apa yang membawa hasil yang baik dalam praktik kehidupan. Sebuah pernyataan adalah benar jika ia mampu menyelesaikan masalah dan membawa manfaat nyata.

Charles Sanders Peirce dan William James, dua tokoh utama pragmatisme, menolak pandangan bahwa kebenaran semata-mata bergantung pada fakta objektif. Mereka mengakui bahwa manusia adalah makhluk praktis, dan karena itu ukuran kebenaran pun harus berakar pada dampak praktis dalam kehidupan.

Misalnya, pernyataan “neraka itu ada” mungkin tak dapat dibuktikan secara empiris, namun ia bisa dianggap benar jika berhasil menumbuhkan kesadaran moral dan menurunkan tingkat kejahatan. Di sinilah letak daya tarik dan sekaligus kerentanan teori ini. Ia lentur, mengakomodasi perbedaan pandangan, tetapi juga bisa jatuh ke dalam relativisme. Apa yang dianggap benar bagi satu orang belum tentu berlaku bagi orang lain. Maka, teori ini mengajarkan kita pentingnya konteks dan pengalaman dalam menilai kebenaran.

Teori Performatif

Tokoh utama dari teori performatif adalah J.L. Austin yang membedakan antara dua jenis ujaran: konstatif dan performatif. Ujaran konstatif adalah pernyataan yang bisa diuji kebenarannya melalui fakta atau logika. Sedangkan ujaran performatif adalah tindakan dalam bentuk bahasa, seperti janji, sumpah, atau pengumuman resmi.

Contoh dari teori kebenaran performatif dapat ditemukan dalam konteks pengucapan sumpah seorang saksi di pengadilan. Ketika seorang saksi mengatakan, "Saya bersumpah akan mengatakan yang sebenarnya, hanya yang sebenarnya, dan tidak selain yang sebenarnya," maka pernyataan itu tidak hanya menyampaikan isi informasi, melainkan juga melakukan suatu tindakan. Dalam hal ini, tindakan bersumpah itu sendiri yang menjadikan pernyataan tersebut benar menurut teori performatif. Kebenarannya tidak terletak pada kesesuaian antara pernyataan dan fakta, melainkan pada kondisi dan konteks pengucapannya. Jika sumpah tersebut diucapkan secara sah, dalam forum yang tepat, dan dengan niat yang tulus, maka pernyataan itu bersifat benar secara performatif. Ini sejalan dengan gagasan J.L. Austin bahwa kebenaran tidak hanya soal mengatakan sesuatu yang benar, tetapi juga melakukan sesuatu dengan kata-kata itu sendiri dalam situasi sosial yang diakui.

Contoh lain, ketika Menteri Agama menyatakan bahwa esok hari adalah awal Ramadan, ia tidak sekadar menyampaikan informasi, melainkan melaksanakan sebuah tindakan keagamaan yang bersifat otoritatif. Kebenaran dari pernyataan itu tidak ditentukan oleh realitas hilal yang mungkin tak terlihat oleh masyarakat, tetapi oleh otoritas penutur yang dipercayai memiliki kompetensi dalam hal tersebut.

Demikian pula ketika seseorang berkata, “Saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan ini lagi.” Kita tidak bisa menguji kebenaran janji itu secara empiris. Ia adalah tindakan yang nilainya tergantung pada ketulusan dan otoritas moral si penutur.

Teori Konsensus

Teori Konsensus merupakan salah satu teori kebenaran yang lahir dari pemikiran Thomas Kuhn, seorang ahli sejarah ilmu pengetahuan terkemuka. Dalam karyanya yang berpengaruh The Structure of Scientific Revolutions, Kuhn menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak berkembang secara linier, melainkan melalui fase-fase yang penuh dinamika.

Pada mulanya, suatu pengetahuan atau teori diterima sebagai normal science oleh masyarakat ilmiah karena dianggap sahih berdasarkan paradigma yang berlaku. Namun, seiring waktu, muncul anomali atau kejanggalan-kejanggalan yang tidak dapat dijelaskan oleh teori tersebut. Ketika anomali semakin banyak dan menggoyahkan fondasi teori lama, maka terjadi apa yang disebut scientific revolution, yaitu perubahan paradigma secara besar-besaran dalam dunia ilmu pengetahuan. Perubahan ini tidak semata-mata karena teori baru lebih logis atau empiris, tetapi karena komunitas ilmiah menerima dan menyepakatinya sebagai paradigma baru. Maka dari itu, bagi Kuhn, suatu kebenaran ilmiah ditentukan oleh sejauh mana ia memperoleh konsensus dari komunitas ilmiah yang rasional.

Konsep ini kemudian diperluas oleh filsuf Jerman, Jürgen Habermas, dalam kerangka teori tindakan komunikatif yang ia kembangkan. Habermas menekankan bahwa kebenaran tidak hanya terletak pada hubungan dengan fakta empiris atau konsistensi logis, tetapi juga pada keabsahan sebuah pernyataan yang dihasilkan dari diskusi rasional antarpartisipan yang setara dalam ruang publik. Dengan kata lain, pernyataan dianggap benar apabila dalam proses komunikasi terbuka dan bebas dominasi, semua pihak rasional menyepakatinya sebagai sesuatu yang sah dan dapat diterima bersama. Inilah yang dimaksud dengan kebenaran konsensus: kebenaran yang lahir dari dialog rasional dan kesepakatan kolektif yang reflektif.

Bayangkan dalam dunia medis, suatu metode pengobatan baru diperkenalkan—misalnya terapi gen untuk penyakit tertentu. Pada awalnya, metode ini dianggap kontroversial dan menuai perdebatan. Namun setelah serangkaian uji klinis, diskusi ilmiah, dan publikasi akademik, akhirnya mayoritas ilmuwan, dokter, serta lembaga kesehatan dunia menyepakati efektivitas dan keamanannya. Pada titik inilah, terapi gen tersebut dianggap sebagai kebenaran ilmiah—bukan semata karena data, tetapi karena konsensus yang dicapai dalam komunitas ilmiah.

Hal serupa terjadi dalam ranah hukum. Misalnya, ketika prinsip hak asasi manusia mulai diakui secara universal setelah Perang Dunia II, hal itu bukan karena semua manusia langsung sepakat, melainkan karena adanya kesadaran bersama yang dibangun lewat diskusi global, pengalaman sejarah, dan kesepakatan antarnegara. Kebenaran tentang pentingnya hak asasi manusia lahir dari konsensus dunia, bukan dari eksperimen laboratorium ataupun rumus matematika.

Kesimpulan

Dalam khazanah filsafat, kebenaran dipahami sebagai suatu horizon terbuka yang terus didekati melalui beragam teori.  Menurut teori korespondensi, kebenaran terletak pada kesesuaian antara pernyataan dan realitas objektif. Sementara itu, teori koherensi menilai kebenaran berdasarkan konsistensi internal dalam suatu sistem pengetahuan.

Teori pragmatis memperluas cakrawala dengan menilai kebenaran dari aspek manfaat praktis. Jika suatu pernyataan mampu menyelesaikan persoalan dan memberikan hasil baik, maka ia dapat dianggap benar. Di sinilah kebenaran bersentuhan dengan kepentingan manusia dan pengalaman hidup yang konkret. Adapun teori performatif menyoroti dimensi tindakan dalam bahasa—bahwa dalam konteks sosial tertentu, pernyataan bisa menjadi benar karena ia dilakukan, bukan sekadar dikatakan. Janji, sumpah, dan deklarasi adalah contoh nyata kebenaran performatif yang tidak bergantung pada fakta empiris.

Terakhir, teori konsensus menegaskan bahwa kebenaran lahir dari kesepakatan rasional antaranggota komunitas. Kebenaran ilmiah, hukum, dan nilai-nilai universal seperti hak asasi manusia seringkali berakar pada konsensus ini, bukan semata hasil logika atau data laboratorium.

Kelima teori ini menunjukkan bahwa kebenaran dalam keadaan tertentu bersifat majemuk, kontekstual, dan tak bisa direduksi hanya pada satu pendekatan. Filsafat mengajarkan bahwa memahami kebenaran adalah memahami manusia dalam kompleksitas cara berpikir dan berinteraksi dengan dunia.


Sumber Bacaan:

  1. Dimas Adrian (2022). Teori Kebenaran: Koherensi, Korespondensi, Pragmatisme Dan Huduri. 
  2. Surajiyo dan Harry Dhika (2023). Teori-Teori Kebenaran dalam Filsafat. 
  3. M Syaiful Padli dan M Lutfi Mustofa (2021). Kebenaran dalam Perspektif Filsafat. 
Sumber Gambar: Pixabay.com



Lebih baru Lebih lama