Kata Pertama Kanz: "Ngak"


Selepas salat Asar, 5 Ramadhan 1446 Hijriah, aku sedang duduk santai di teras Masjid Istiqomah dekat rumah, sedikit menikmati sisa hari yang teduh. Angin sore mengayun ranting-ranting jambu di halaman, dan bayangan matahari yang menurun perlahan membuat suasana nyaris sempurna untuk berpikir — andai saja pikiranku tak terusik oleh satu notifikasi yang masuk di layar ponsel.

Seorang jamaah dari kelompok pengajianku mengirim sebuah potongan video pendek. “Coba ustadz lihat ini, benarkah hal seperti ini?” tulisnya. Aku penasaran. Aku buka. Dan seperti kebanyakan video viral yang tidak diminta, isinya membuat keningku mengernyit.

Dalam video itu, seorang pria yang dianggap tokoh agama, dengan sorban melilit rapi dan sorot mata meyakinkan, mencelupkan jarinya ke dalam sebuah botol air mineral. “Air biasa ini,” katanya di depan para pengikutnya yang khidmat menunduk, “kalau disentuh oleh jari seorang wali, maka nilainya tidak sama lagi.”

Air yang semula hanya tiga ribu rupiah, setelah ‘disentuh wali’, bisa naik jadi lima puluh ribu. Bahkan, katanya lagi, “bisa jadi jutaan rupiah, tergantung berkahnya.” Orang-orang di sekelilingnya mengangguk, sebagian meneteskan air mata. Aku diam. Antara geram, geli, dan bingung harus mulai dari mana kalau harus menjelaskan.

Belum sempat aku menjawab chat si jamaah, masuk video kedua. Kali ini bukan tentang air. Seorang pria lain — yang katanya juga bagian dari kelompok ‘ulama besar’ — mengklaim bahwa guru spiritual mereka bisa menurunkan rantai emas dari langit. Ya, dari langit. Tanpa tali. Tanpa mesin. Tanpa kabel. Katanya, itu “karomah”.

Aku menarik napas panjang. Sebagai orang yang belajar agama, aku sangat percaya bahwa Allah Mahakuasa dan bisa memberi keajaiban kepada hamba-Nya. Tapi mengemas hal seperti ini menjadi tontonan dengan harga tiket dan stiker donasi? Lalu menjual botol air dengan label ‘jari wali’?

Namun kekhawatiranku belum selesai. Saat aku menggeser layar ke bawah — sebagaimana kebiasaan (hampir) kita semua — aku malah terbawa oleh algoritma yang semakin aneh. Kali ini bukan tentang orang yang menjual agama. Tapi tentang orang yang meninggalkannya.

Sebuah klik, bisa membawa kita kepada gulungan konten yang tiada henti. Satu video membawa pada video lainnya. Seperti terhisap ke dalam pusaran algoritma, kita bisa duduk berjam-jam tanpa sadar, membuka-buka isi dunia yang tak punya sensor akal sehat.

Aku menonton satu podcast. Seorang pria muda, tampil rapi, artikulatif, wajahnya teduh. Ia bercerita bahwa dulunya ia adalah lulusan pesantren, hafal Qur'an, aktif berdakwah. Tapi kini ia memilih jadi agnostik. “Agama,” katanya pelan, “pada akhirnya hanya alat manipulasi bagi yang punya kuasa. Aku merasa ditipu, terlalu lama.”

Ia tak marah. Ia bahkan tampak tenang. Tapi justru itulah yang membuat aku makin gusar. Ia pergi dari agama bukan karena benci, tapi karena kecewa — karena merasa dibohongi oleh sistem yang mestinya mendidiknya.

Di layar kaca, satu demi satu muncul kisah serupa. Mereka yang belajar agama tapi berakhir dengan membencinya. Mereka yang menuntut ilmu, tapi kemudian menganggap Tuhan hanya mitos dari masa silam.

Hari itu, pikiranku gelisah.

Tapi belum sempat aku menyusun jawaban untuk para jamaah yang bertanya, atau bahkan menyimpulkan isi podcast itu, istriku menelepon. Suaranya tergesa. “Yank, bantu siapin barang-barang ya. Hari ini kita USG terakhir. Dokternya bilang, bisa jadi bayinya lahir kapan saja.”

Oh ya. Di tengah semua kegaduhan pikiran tentang agama, logika, manipulasi, dan agnostisisme itu, aku hampir lupa bahwa hari ini aku sedang menanti kelahiran anakku.

Kami pun bersiap menuju klinik bersalin yang sudah kami percaya sejak awal kehamilan. Letaknya sekitar 20 menit dari rumah. Sore itu, suasana jalanan sepi — mungkin karena orang-orang sedang menyiapkan buka puasa. Kami menunggu giliran cukup lama. Baru setelah azan Maghrib berkumandang, nama kami dipanggil.

Dokter memeriksa dengan teliti, lalu berkata dengan lembut, “Pak, Bu… sebaiknya segera operasi. Air ketubannya sudah keruh. Ini sudah lewat dari hitungan bulan. Kita tak bisa tunda.”

Aku menatap istriku. Ia mengangguk. Kami sepakat: keselamatan lebih utama.

Segalanya berjalan cepat. Kami menyiapkan berkas, menelpon keluarga,dan mengatur transportasi. Keesokan harinya, tepat pada 6 Ramadhan 1446 H, anakku lahir.

Seorang bayi mungil, laki-laki. Tangis pertamanya memecah sunyi. Dan tangis itu seperti menandai sebuah babak baru dalam hidup kami berdua: kami menjadi orang tua. 

Namanya Ahmad Kanz al-Mafakhir. Aku memilih memanggilnya Kanz, sesuai bagian dari namanya yang berarti harta karun kemuliaan. Sementara beberapa kerabat dan teman lebih suka menyebutnya Fakhir, mungkin karena kesan lebih “prestisius”. Tapi ini tulisan dariku, ayahnya. Dan di sini, aku menyebutnya Kanz saja. Nama itu, bagiku, cukup dan sempurna.

Tapi jangan salah paham — ini bukan cerita tentang rasa haru menyambut kelahiran. Bukan pula soal biaya hidup kedepannya yang membuat keringat dingin. Kekhawatiranku jauh lebih dalam dari sekadar tagihan rumah sakit atau popok bayi.

Yang terus menggema di benakku adalah satu tanya: Bagaimana anak ini akan tumbuh di zaman seperti sekarang?

Apakah ia akan belajar agama, tapi terjebak dalam taklid buta, mengagungkan guru (seolah-olah) lebih dari Nabi, menelan tahayul dan karomah palsu sebagai kebenaran suci?

Ataukah ia tumbuh sebagai saintis, ahli logika dan rasionalitas, tapi akhirnya kehilangan Tuhan — karena semua yang tak bisa diukur dianggap dusta?

Apakah ia akan percaya secara membabi buta, atau meragukan segalanya sampai kehilangan pegangan?

Selama seminggu setelah kelahirannya, pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikiranku. Aku menatap wajah bayiku yang polos saat tidur. Di balik kepalanya yang mungil, adakah benih-benih berpikir kritis? Atau nanti ia hanya akan meniru, percaya, membenci, menyerah?

Sampai suatu sore, kejadian kecil terjadi — sederhana, tapi bagiku berarti besar.

Saat usianya tepat tujuh hari, kami bersiap memandikannya. Seperti biasa, ia menangis pelan ketika tubuhnya disentuh air. Tapi sore itu, di sela tangisnya yang tercekat-tekat, terdengar satu kata mungil yang jelas: “Ngak.”

Kami saling pandang. Apakah barusan…? “Ngak,” ucapnya lagi. Kali ini lebih pelan, seperti gumaman protes.

Aku tahu, secara medis mungkin itu hanya gerakan refleks lidah. Secara logis, itu bisa jadi kebetulan bunyi. Tapi bagiku — sebagai ayah yang sedang resah akan masa depan dunia berpikir — kata “Ngak” itu adalah harapan pertama.

Itu bukan sekadar suara. Itu adalah penolakan pertama dalam hidupnya.

Satu kata kecil, tapi maknanya luas. Ia menolak. Entah airnya dingin, atau bajunya tak nyaman, atau lampu terlalu silau. Tapi intinya: ia tidak sekadar diam menerima. Ia protes.

Dan sejak hari itu, ia mulai sering mengulang kata itu. “Ngak,” ketika haus. “Ngak,” ketika popoknya basah. “Ngak,” ketika ia merasa tidak nyaman. Dan setiap “Ngak” itu, bagiku, adalah tanda bahwa anak ini — semoga — akan tumbuh dengan kemampuan untuk membedakan antara menerima dan menyaring.

Dunia hari ini terlalu penuh dengan orang yang terlalu cepat percaya, atau terlalu cepat menolak. Jarang ada yang mau berpikir. Jarang yang mau menimbang. Jarang yang sabar untuk bertanya.

Maka sejak hari itu, aku mulai menulis ini.

Bukan untuk mengajarinya isi pikiran. Tapi untuk memperkenalkannya pada cara berpikir.

Aku tidak mau membesarkan anak yang hanya tahu apa yang harus dihafal. Aku ingin ia tahu bagaimana cara mencari, menimbang, meragukan, dan memahami.

Aku ingin ia belajar bahwa kebenaran bukan sesuatu yang diberikan begitu saja — tapi sesuatu yang diperjuangkan lewat pertanyaan, logika, intuisi, dan perenungan yang jujur.

Barangkali, kalau panjang umur, tulisan ini bukan untuk hari ini. Mungkin Kanz baru akan membacanya ketika usianya sudah cukup. Ketika pertanyaan-pertanyaan mulai tumbuh di kepalanya, dan ia mulai tergoda untuk percaya atau kecewa.

Tulisan yang awalnya hanya akan kupersembahkan untuk Kanz ketika ia dewasa. Tapi kini, mungkin juga untuk siapa saja yang bertanya hal serupa. 

Aku ingin Kanz—dan siapa pun yang membaca ini—mampu berpikir tentang cara kita mengetahui sesuatu: tentang epistemologi, tentang metakognisi, tentang kemampuan berpikir atas pikiran itu sendiri.

Aku ingin Kanz kelak bisa membedakan antara yang ghaib dan yang ngadi-ngadi. Antara mukjizat dan manipulasi. Antara agama sebagai jalan menuju cahaya, dan agama yang dijadikan selimut untuk menutupi hasrat berkuasa.

Aku ingin Kanz punya keberanian seperti kata pertama yang ia ucap: “Ngak.” Keberanian untuk menolak yang tidak masuk akal. Keberanian untuk berkata tidak, meski mayoritas berkata iya. Tapi di sisi lain, aku juga ingin ia punya kesabaran untuk menyelidiki, untuk mendalami, untuk memverifikasi sebelum mengambil kesimpulan.

Sekali lagi, tulisan ini adalah kisah tentang cara berpikir. Tapi bukan berpikir kering, bukan logika kosong tanpa hati. Ini tentang bagaimana akal dan nurani berdialog. Tentang bagaimana iman dan kritisisme tidak harus berseberangan.

Kanz mungkin belum bisa membaca tulisan ini sekarang. Tapi kelak, ketika ia mampu, aku ingin ia tahu bahwa lahirnya telah membangkitkan sesuatu dalam diri ayahnya. Bahwa dari suaranya yang kecil itu, ayahnya belajar satu hal penting: dalam dunia penuh dusta dan ilusi, kata “Ngak” bisa menjadi awal dari jalan menuju kebenaran.

Dan itulah mengapa tulisan ini ada. 


Baca Juga: Teori-Teori Kebenaran dalam Lintasan Filsafat


Sumber Gambar: Pixabay


Lebih baru Lebih lama