Menyelami Ibrah di Lautan Qashash al-Qur'an

 


Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam tidak hanya memuat ajaran-ajaran normatif mengenai kehidupan beragama, tetapi juga kisah-kisah (qashash) yang sarat akan pelajaran dan hikmah. Qashash al-Qur'an, yang berarti kisah-kisah dalam Al-Qur'an, memiliki peran yang sangat signifikan dalam menjernihkan keyakinan, meneladani moral-etik, serta menghimpun kebijaksanaan (phronesis) hidup bagi umat manusia. Kisah-kisah ini tidak semata-mata bertujuan untuk menghibur atau sekadar menceritakan peristiwa masa lampau, tetapi menyimpan nilai-nilai pendidikan, spiritualitas, dan petunjuk bagi kehidupan sehari-hari.

Salah satu keunikan qashash al-Qur'an adalah kemampuannya untuk menyampaikan pesan-pesan ilahiah secara lebih mendalam melalui narasi kehidupan para nabi, umat-umat terdahulu, dan peristiwa sejarah lainnya. Dengan demikian, fungsi utama qashash bukan sekadar memberikan informasi sejarah, melainkan menjadi sarana refleksi terhadap idealitas kehidupan.

Melalui qashash al-Qur'an ini, Allah memberikan peringatan, mengingatkan umat manusia akan konsekuensi dari kesalahan dan dosa, serta menunjukkan hasil dari keimanan dan ketakwaan yang tulus. Kisah-kisah tersebut juga sering kali menonjolkan betapa pentingnya kesabaran, ketabahan, dan kepercayaan pada kehendak Allah.

Qashash al-Qur'an juga mengandung nilai-nilai universal yang relevan sepanjang zaman. Kisah Nabi Musa, misalnya, bukan hanya bercerita tentang pembebasan Bani Israil dari penindasan Fir'aun, tetapi juga menggambarkan perjuangan melawan kezaliman, pentingnya keberanian, serta keteguhan dalam memperjuangkan kebenaran. Begitu pula dengan kisah Nabi Ibrahim yang memperlihatkan kekuatan iman dan keberanian untuk melawan kesyirikan serta menegakkan tauhid.

Nilai-nilai seperti keadilan, kesabaran, keikhlasan, dan kepercayaan pada takdir Allah menjadi pesan moral yang dapat dipetik dari berbagai qashash. Al-Qur'an menghadirkan kisah-kisah ini untuk memotivasi manusia agar tidak terjebak dalam kebatilan dan kesesatan, tetapi terus berada di jalan yang lurus, meskipun sering kali harus berhadapan dengan berbagai tantangan dan ujian.

Penting untuk ditegaskan bahwa, kisah-kisah dalam Al-Qur'an tidak hanya memuat aspek dramatik, tetapi juga menyimpan hikmah yang mendalam. Penggunaan kisah sebagai media untuk menyampaikan pesan moral menunjukkan betapa Al-Qur'an memperhatikan aspek psikologis manusia yang lebih mudah menangkap pelajaran melalui cerita. Kisah yang diceritakan berulang kali dalam berbagai bentuk dan sudut pandang juga menunjukkan kebijaksanaan Allah dalam menyampaikan pelajaran-pelajaran hidup yang berlapis-lapis, yang dapat dimaknai oleh setiap individu sesuai dengan konteks kehidupan dan tingkat pemahamannya.

Dalam surat Al-Kahfi, misalnya, kisah tentang pemuda Ashabul Kahfi yang melarikan diri dari penguasa zalim karena mempertahankan iman, tidak hanya mengajarkan tentang kekuatan iman, tetapi juga bagaimana umat Islam harus berani mempertahankan keyakinan meskipun berada dalam situasi sulit. Hikmah dari kisah ini memberikan pelajaran penting tentang keteguhan hati, keberanian moral, dan keyakinan pada pertolongan Allah.

Pertanyaannya, kalau  kita menjumpai ayat yang berisikan qashash al-Qur'an, bagaimana sebaiknya kita memaknakannya? Apakah kita hanya melihatnya sebagai cerita sejarah, ataukah kita mampu menggali pelajaran hidup dan hikmah yang tersembunyi di baliknya? Bagaimana kisah-kisah tersebut bisa kita terapkan dalam kehidupan kita saat ini?

Memaknakan Qashash al-Qur'an 

Qashash al-Qur'an bukanlah sekadar koleksi kisah masa lalu, melainkan cerminan bagi jiwa yang mencari petunjuk dan kebenaran. Menurut Syaikh Mutawalli Asy-Sya'rawi, kisah-kisah dalam Al-Qur'an selalu diceritakan dengan menyembunyikan nama-nama tokoh dan waktu kejadian. Hal ini bukan tanpa sebab. Allah tidak menuntun kita untuk fokus pada nama-nama atau masa sejarah yang detail, melainkan pada esensi dan pelajaran moral yang terkandung di dalamnya. Kisah-kisah ini bukan untuk dijadikan bahan riset arkeologis, tetapi untuk menggerakkan hati dan menuntun jiwa agar lebih dekat kepada-Nya.

Sebagai contoh, dalam kisah Nabi Musa a.s. dan Fir’aun, Al-Qur’an tidak pernah menyebutkan secara spesifik siapa Fir'aun yang berkuasa saat ituapakah Ramses II atau yang lainnya? Mengapa? Karena yang penting bukanlah identitas Fir’aun itu, bukan pula masa dan periode sejarahnya, tetapi makna dari tindakan zalim yang dilakukannya. Setiap penguasa yang sombong dan mendurhakai Tuhan, yang menginjak-injak hak-hak orang lain, pada akhirnya akan mengalami nasib yang sama seperti Fir'aun—kehancuran dan kehinaan.

Fir'aun bukanlah sekadar tokoh dalam sejarah. Ia adalah simbol bagi setiap orang yang menindas dan menyalahgunakan kekuasaan. Setiap masa memiliki Fir’aun-nya, dan mereka yang mengikuti jalan kedurhakaan pasti akan berakhir dengan kehancuran, baik di dunia maupun di akhirat. Jadi, fokus kita seharusnya bukan pada identifikasi Fir’aun secara historis (identitas dan periodisasi), melainkan pada pengajaran moral yang terkandung dalam kisah tersebut: "Semua orang yang zalim akan berakhir dengan akhir yang menyedihkan, dan azab menanti mereka di akhirat."

Contoh lain adalah kisah Dzul Qarnain. Al-Qur'an menyebut Dzul Qarnain sebagai penguasa yang adil dan saleh, namun Allah tidak mengungkapkan dengan jelas di mana dia memerintah atau kapan. Banyak perdebatan muncul, ada yang mengatakan bahwa Dzul Qarnain adalah penguasa di Cina; ada yang berpendapat dia berada di Ethiopia atau Yaman. Namun menurut Syaikh Asy-Sya'rawi, perdebatan semacam itu tidak penting sama sekali. Yang Allah kehendaki adalah agar kita mengambil pelajaran dari karakter Dzul Qarnain: seorang pemimpin yang menggunakan kekuasaannya untuk menegakkan kebenaran dan melindungi yang lemah, akan diberikan kelapangan dan kekuasaan yang lebih luas oleh Allah.

Kisah-kisah dalam Al-Qur’an, seperti Dzul Qarnain dan Fir’aun, tidak dimaksudkan untuk sekadar menjadi cerita yang menarik; bukan ditujukan untuk kepuasan pada kisah itu sendiri. Setiap cerita mengandung pelajaran mendalam yang berlaku untuk kita hari ini dan sepanjang masa—pelajaran tentang keadilan, kesalehan, kekuasaan, dan akibat dari penyalahgunaan otoritas. Allah menuntun kita agar mengambil hikmah dari setiap kisah dan menjadikannya pemandu dalam kehidupan kita sehari-hari.

Maka, ketika kita membaca qashash al-Qur’an, pertanyaannya bukan lagi apakah kisah ini nyata secara historis, tetapi bagaimana kita dapat menerapkan pelajaran dari kisah tersebut dalam hidup kita. Apakah kita, sebagai individu, pemimpin, atau masyarakat, telah menghindari jalan Fir’aun dan mengikuti teladan pemimpin saleh seperti Dzul Qarnain? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan bagaimana kita memahami dan memaknai qashash dalam Al-Qur'an.

Sebuah Pengecualian

Dalam kaidah umum yang diajarkan oleh Syaikh Mutawalli Asy-Sya'rawi mengenai qashash al-Qur'an, ada satu pengecualian menarik yang patut kita renungkan: kisah Nabi Isa a.s. dan ibunya, Maryam ibnat Imran. Dalam Al-Qur'an, Allah secara khusus mengenalkan kita kepada Nabi Isa dengan nama lengkapnya, Isa ibn Maryam, dan Maryam ibnat Imran, sebuah penghormatan yang berbeda dari nabi-nabi lainnya, seperti Ibrahim, Musa, atau Yunus yang disebut tanpa nasab.

Mengapa Allah memberikan perhatian khusus dengan menyebutkan Nabi Isa bersama nasab ibunya? Hal ini terkait dengan keajaiban luar biasa yang tidak akan pernah terulang lagi di dunia ini—mukjizat kelahiran Nabi Isa tanpa campur tangan seorang ayah. Maryam dipilih oleh Allah Swt. dari seluruh wanita di alam semesta untuk mendapatkan kehormatan ini, sebuah peristiwa yang tak mungkin terjadi lagi setelahnya. Tidak ada wanita lain yang akan mengandung tanpa pasangan lelaki, dan siapa pun yang mengaku demikian tentu berbohong.

Mukjizat yang terjadi pada Maryam ibnat Imran dan Nabi Isa a.s. begitu istimewa karena sifat keunikannya yang tak dapat diulang. Maka dari itu, kisah keduanya berbeda dengan kisah-kisah lainnya dalam Al-Qur'an, seperti kisah Fir’aun atau Dzul Qarnain, yang pola-pola kezaliman dan kepemimpinannya bisa kembali muncul dalam sejarah manusia; begitu juga pola-pola kehidupan penguasa yang saleh. Fir'aun atau sosok-sosok sepertinya, misalnya, adalah simbol kekuasaan yang zalim dan arogan yang dapat berulang sepanjang masa; Dzul Qarnain atau sosok sepertinya, adalah simbol penguasa soleh yang diberkahi oleh Allah Swt.

Namun, dalam hal Maryam dan Nabi Isa, kejadian tersebut adalah satu-satunya di dalam sejarah manusia, dan karena keajaiban ini, Allah Swt. menempatkan mereka dalam posisi yang istimewa di dalam Al-Qur'an. Tidak ada kejadian serupa yang akan menandingi mukjizat ini, dan karena itu pula, sebutan Isa ibn Maryam menegaskan keajaiban luar biasa tersebut serta memberikan penghormatan kepada ibunya.

Pada titik ini, kita bisa memahami bahwa sementara kisah-kisah Fir’aun dan Dzul Qarnain dapat berulang kembali seiring berjalannya waktu, kisah Maryam dan Nabi Isa tetap menjadi mukjizat yang unik, tidak dapat direplikasi. Ini adalah salah satu aspek dari kekhususan kisah dalam Al-Qur’an yang memberi kita pelajaran lebih mendalam tentang keajaiban ilahi yang terjadi dalam konteks waktu dan tempat yang tertentu.

Adapun tentang kisah Nabi Yusuf a.s., meskipun kisahnya diceritakan secara detail dalam satu surah, pelajaran dari kisah tersebut juga relevan di berbagai masa dan konteks. Namun, untuk pembahasan mengenai Nabi Yusuf a.s. dan bagaimana kisahnya tetap berulang dalam berbagai bentuk, insya Allah akan dibahas pada kesempatan lain.

Dengan demikian, kisah-kisah dalam Al-Qur’an mengandung pelajaran abadi yang dapat terus kita gali. Dapat saja dilakukan melalui identifikasi terhadap pola-pola yang berulang dalam kehidupan kita. Dengan merenungkan dan memahami ibrah yang terkandung di dalamnya, kita tidak hanya mendapatkan petunjuk untuk mengarungi liku-liku kehidupan, tetapi juga menemukan kekuatan dan inspirasi untuk menghadapi tantangan yang datang. Setiap kisah menjadi cermin bagi jiwa kita, mengajak kita untuk belajar, bertransformasi, dan menjadi pribadi yang lebih baik, sejalan dengan nilai-nilai ilahi yang telah diturunkan untuk umat manusia sepanjang zaman.

Tulisan ini dinukil dari karya Syaikh Mutawalli Asy-Sya'rawi, Surah al-Kahf. Kitab ini sudah diterjemahkan oleh Ahmad Muhammad as-Saqqaf, Risalah Hikmah al-Kahfi, (Surakarta: CV Layar Creativa Mediatama, 2022)

Baca Juga: Menyingkap Makna Hikmah

Lebih baru Lebih lama